Jumat, 17 April 2009

GKR Hemas: Masih Banyak Warga Belum Nikmati Pendidikan

Yogyakarta, CyberNews. Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengatakan, meski zaman sudah maju seperti sekarang ini, namun kenyataannya masih banyak masyarakat kita yang belum bisa menikmati pendidikan sebagaimana mestinya.
Mereka yang belum bisa menikmati pendidikan layak, terutama masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Padahal untuk meraih pendidikan sudah ada landasannya seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
GKR Hemas, selaku Ketua Penggerak Tim PKK Pemprov DIY mengatakan itu dihadapan peserta Sosialisasi Program Pendidikan Layanan Khusus (PPLK) di Gedung Radyasuyoso, Pemprov DIY, Selasa (29/1).
Maka dengan adanya program pemerintah, tentang pendidikan layanan khusus yang merupakan program baru, perlu segera disosialisasikan dan dimasyarakatkan secara terpadu. Berkesinambungan dan berjenjang sampai pada lapisan masyarakat terbawah, agar program dimaksud dapat dinikmati oleh warga secara merata, serta berhasil sesuai dengan yang diharapkan pemerintah.
Sebagaimana dituangkan pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat, bahwa salah satu tujuan ansional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini mengandung makna, betapa pentingnya peran pendidikan untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkwalitas di masa mendatang.
Guna mencapai tujuan tersebut, kata dia, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan, antara lain dengan diterbitkannya UU No 20 tahun 2003.
Dalam Undang-Undang itu, terutama pasal lima ayat 2 tercantum bahwa warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Kemudian ayat 3 dan 4 menyebutkan, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang, serta masyarakat adat yang terpencil, dan yang memiliki potensi kecerdasan maupun bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Oleh karena itu, Tim Penggerak PKK tepat untuk ikut berperan aktif dalam membantu mensosialisasikan program pendidikan layanan khusus ini. Karena, kata dia, mempunyai jangkauan kegiatan sampai lapisan masyarakat paling bawah, yaitu dasa wisma.
Menurut GKR Hemas, apresiasi masyarakat terhadap program yang dibuat pemerintah khususnya yang bertujuan untuk memajukan sumber daya manusia, menunjukkan perkembangan yang kian menggembirakan dari tahun ke tahun.
Hal ini dapat dilihat dari sambutan yang baik dan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat di tingkat pusat maupun daerah khususnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan pendidikan.
''Sepanjang program tersebut sesuai dengan kebutuhan dan memiliki dasar keilmuan yang jelas, masyarakat mesti banyak yang mendukung,'' kata permaisuri Sri Sultan Hamengu Buwono X.

Kamis, 16 April 2009

5. Anak Belajar, Negara Membayar

Sembilan bulan lalu, negeri ini dihebohkan bencana gempa tektonik dan

badai tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Tsunami yang ganas

itu meluluhlantakkan fasilitas pendidikan. Banyak guru menjadi sahid, anak

sekolah menjadi yatim piatu, sekolahnya musnah, peralatan belajar hilang entah

ke mana. Singkatnya, pendidikan anak terancam kelangsungannya.

Jika ditilik dari UU Sistem Pendidikan nasional (UU Sisdiknas),

pendidikan yang terjadi atau terbengkalai dalam bencana tsunami, mestinya masuk

dalam skema pendidikan layanan khusus. Apakah kita sudah memiliki pendidikan

layanan khusus? Ternyata belum. Perintah pembuatan Peraturan Pemerintah (PP)

tentang pendidikan layuanan khusus yang memayungi pendidikan darurat belum

dibuat hingga kini.

Pendidikan layanan khusus, bukan cuma ada dalam kasus tsunami.

Sebenarnya, sejak lama di pulau-pulau kecil dan terpencil, misalnya di Pulau

Bertam, Kepulauan Riau (Kepri), dikenal kelompok masyarakat suku laut.

Dalam suatu kesempatan pembicaraan dengan ibu Sri Sudarsono, tokoh

masyarakat level nasional yang tinggal di Batam, mengisahkan bagaimana situasi

unik yang disandang suku laut. "Mereka suku laut belajar di laut." Demikian

antara lain pengalaman kisah Sri Sudarsono mendampingi suku laut yang

dituliskan dalam bukunya, "Menantang Gelombang - Kehidupan Suku Laut di Pulau

Bertam Perairan Batam". Sebagian bayi lahir di laut. Lantas segera pula

dimandikan air laut yang asin. Diyakini, air laut berguna sebagai antibody bagi

bayi.

***

Untuk kepentingan terbaik bagi anak-anak, pendidikan dalam kondisi

bagaimanapun, termasuk keadaan darurat (in emergencies situation), denyutnya

mesti terus diselamatkan. Dari laporan pengalaman berbagai situasi darurat,

konflik sosial, ataupun konflik bersenjata, pengabaian hak pendidikan anak

paling sering terbukti. UNICEF (Badan PBB untuk Dana Anak-anak) menuliskan

bahwa, "In emergencies, children are frequently denied this right". Inilah

rasional yuridis (legal reason) mengapa Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA)

menghormati hak pendidikan sebagai hak fundamental anak (education is a

fundamental right of all children).

Di samping argumentasi legal formal itu, dalam "Technical Notes: Special

Considerations for Programming in Unstable Situations" yang diterbitkan UNICEF,

diuraikan beberapa alasan mengapa penting menyediakan akses pendidikan anak

dalam situasi krisis.

Pertama, pendidikan adalah hal fundamental anak. Kedua, Keadaan darurat

adalah etape yang kritis bagi perkembangan anak. Ketiga, pendidikan dapat

membantu anak dalam menghentikan trauma atau efek krisis . Keempat, pendidikan

dapat membantu perasaan normal anak dan masyarakat.

Kelima, lingkungan pendidikan penting bagi anak untuk ditempatkan pada

lingkungan yang aman. Keenam, pendidikan bagi anak dalam keadaan darurat

berguna sebagai medium membangkitkan daya kejuangan anak, membangun

solidaritas, dan spirit rekonsiliasi. Di samping itu, pendidikan darurat ini

relevan untuk membangun partisipasi masyarakat dalam pendidikan anak.

Kendati dalam situasi darurat, tidak mengeliminasi penyelenggaraan

pendidikan anak yang berkualitas kurang. Anak dalam situasi darurat berhak atas

pendidikan dengan kualitas bagus.

Pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang berkualitas dan non

diskriminasi (vide Pasal 11 ayat 1 UU No 20/2003). Dan, menjamin pendidikan

anak yang berbasis kesetaraan kesempatan.

Untuk menjamin good quality pendidikan dasar anak dalam situasi darurat

itu, masalah kualitas bagus ini meliputi lima aspek kunci. Pertama, pemberi

pelajaran, yakni memiliki kemampuan dan sehat. Kedua, konten pelajaran, yakni

konten yang relevan, aksesible.

Ketiga, proses belajar, yakni proses belajar yang mampu memberdayakan dan

efektif . Keempat, lingkungan belajar yakni lingkungan belajar yang aman, sehat

dan adil. Kelima, hasil pelajaran yakni hasil perolehan yang terukur, relevan,

dan mencerminkan dimensi yang sensitif gender.

Dengan demikian, upaya pemenuhan hak atas pendidikan dasar anak dalam

skema palayanan khusus, mestilah dikelola berbasis kepada kebijakan atau

regulasi. Bukan hanya berbasis kepada kebijakan insidental, reaktif atau malah

personal. Atau bahkan hanya berbasis kepada pesan telepon saja.

Beberapa strategi praktis dapat diperoleh dari akumulasi

pengalaman-pengalaman masyarakat. Pertama, memobilisasi komunitas/ masyarakat

untuk mengupayakan pelayanan pendidikan dasar. Memobilisasi dan mendorong aksi

dari komunitas/ masyarakat menyelenggarakan pendidikan dasar, menjadi prioritas

segera dalam program pendidikan darurat.

Kedua, menyiapkan berbagai kesempatan pelatihan bagi guru-guru,

para-profesional, dan anggota masyarakat. Pelatihan ini berguna untuk

menyiapkan skil dan mentalitas para guru dan pengelola sekolah dalam menghadapi

situasi darurat, yang diidentifikasi secara spesifik dan jelas di kawasan

sekolahnya. Sehingga langsung bisa diterapkan, diuji-latihkan dan dibiasakan.

Ketiga, menjamin pengupayaan segera peralatan dan material untuk

pendidikan dasar. Belajar dari pengalaman di Somalia ataupun Ruwanda (besama

UNESCO), bisa mengembangkan atau menduplikasi berbagai material, seperti

Scholl-in a- Box.

Keempat, mengupayakan persetujuan mengenai kurikulum yang relevan,

mengggambarkan material yang tersedia dan di mana diperoleh, dan menambah

kemampuan dalam menghadapi krisis. Dalam keadaan darurat, dokumen kurikulum dan

material pendukung pendidikan bisa musnah.



Dalam masa bencana atau konflik, kerap pula kurikulum yang biasa atau

yang tersedia tidak lagi relevan dengan situasi mental anak didik. Karenanya,

perlu pengembangan segera material kurikulum yang relevan bagi kebutuhan lokal.



Kelima, memajukan konsepsi untuk menciptakan adanya kesempatan rekreasi

dan bermain bagi anak. Dalam situasi darurat, masa untuk bermain terbatas.

Padahal, terapi bermain (playing teraphy) bisa membantu anak ke luar dari

trauma psiko-sosial yang dideritanya.

Rekreasi dan bermain adalah bagian dari proses pendidikan, dan diperlukan

untuk efektivitas pembelajaran anak. Bermain adalah terapi yang terbukti

efektif mengatasi trauma anak pasca bencana ataupun konflik.

Keenam, memajukan konsepsi untuk menciptakan rehabilitasi sistem

pendidikan (yang menyerap pendidikan dalam situasi darurat), sekolah dan

ruangan kelas. Ketujuh, melakukan advokasi untuk kegiatan pendidikan dan

mendorong kordinasi dengan kelembagaan lain.

Negara menjadi pendidikan anak, dalam sityasi apapun. Karena sudah

menjadi perintah konstitusi kepada pemerintah untuk menciptakan sistem

pengajaran nasional. Tentunya, dengan mengintegrasikan sub sistem pendidikan

layanan khusus, yang diperintahkan UU Sisdiknas.

Anak-anak korban tsunami, anak korban konflik sosial, anak di pulau

terpencil perbatasan Filipina, anak suku laut di Kepri, anak-anak dipedalaman

gunung Jayawijaya, atau anak suku Kubu, tetap berhak atas pendidikan. Negara

berkewajiban memberikan hak itu. Anak Belajar, negara membayar.
sumber:http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Anak-Belajar-Negar

Pendidikan Bagi Anak Di lokalisasi Prostitusi

Pendidikan menjadi alat kendali di Lokalisasi

Salah satu program teranyar Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) adalah membangun Pendidikan Layanan Khusus (PLK) bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun sekitar lokalisasi prostitusi Kelurahan Putat Jaya, Surabaya.

Di kawasan ini orang biasa mengenal Gang Doli dan Jalan Jarak. Pembangunan PLK di sana selain meningkatkan mutu pendidikan bagi anak didik di sekitar lokalisasi, yang terpenting melalui pendidikan ini diharapkan dapat memajukan pola pikirnya penduduk setempat bagi kelangsungan pendidikan anak-anaknya dilokasi tersebut.
”Jadi itu yang diharapkan dengan pendidikan di sana dapat menjadi alat kendali bahwa bisnis lokalisasi tidak akan berkembang ke generasi berikutnya,” tambahnya.
Bisnis lokalisasi yang notabena adalah bisnis tidak halal ini sulit diberantas namun hanya dapat dikendalikan agar gaungnya tidak sampai meluas. Informasi yang dihimpun SPIRIT karena warga setempat merasa terbantu perekonomiannya dengan adanya lokalisasi tersebut. Misalnya penduduk setempat adanya yang menjadi tukang cuci, tukang parkir, keamanan, bergadang kelontong dan sebagainya. Karena memang pekerja seks komersial ini bukan dari penduduk setempat melainkan 100 persen adalah dari pendatang di sekitar Jawa Timur.

Anak-anak usia sekolah disekitar lokalisasi --khususnya di RW III, VI, dan XI-- banyak yang putus sekolah. Hal tersebut disebabkan kurangnya dorongan untuk menempuh pendidikan dari orang tua. Mainset warga yang terbentuk adalah dengan adanya lokalisasi, mereka dapat bekerja dengan berdagang dan dapat menghidupi keluarga.

Ketika pendidikan yang rendah saja dapat menghasilkan uang, maka pendidikan tinggi sudah menjadi hal yang sekunder. Mainset seperti inilah yang menghambat pendidikan bagi anak-anak sekitar daerah lokalisasi. Program yang dirancang bagi PLK untuk gang doli ini adalah baca, tulis, dan hitung (Calistung) dan program registrasi kelahiran anak. ”Hal ini untuk kelegalan surat-surat seperti akte lahir,” ucap Dewi Mende selaku ketua PLK.

Peserta program calistung tersebut dipilih dari anak-anak yang putus sekolah dan bermasalah seperti slow lerner atau lambat dalam belajar. Masalah slow lerner tersebut yang menjadi dorongan orang tua untuk memberhentikan sekolah anaknya. ”Jadi bukan karena tidak mampu saja tapi karena orang tua malu anaknya tidak pernah naik kelas,” ungkap Dewi. Selain anak putus sekolah, beberapa diantaranya terdapat anak pendatang yang cacat.

Program registarasi kelahiran anakyang juga diterapkan berguna bagi wanita tuna susila yang melahirkan anak tanpa suami. Sehingga anak-anak yang lahir diserahkan begitu saja atau diadopsi dibwah tangan oleh orang lain. ”Karena diadosi bawah tangan jadi status hukum anak itu tidak jelas,” seru Dewi. Hal ini banyak dialami oleh wanita tuna susila yang baru dan belum tahu cara penggunaan kontrasepsi sehingga mengakibatkan kehamilan.

Anak-anak disekitar lokalisasi tersebut belum teridentifikasi seluruhnya. ”Tapi yang jelas tingkat kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya sangat rendah,” papar Dewi. Penyebabnya dapat diasumsikan menjadi dua bagian yaitu karena mereka dapat hidup dengan kehidupan malam dilingkungan tersebut.

Dapat dikatakan karena latar belakang yang kurang memadai sehingga pemikirannya sederhana, yaitu pengaruh lingkungan yang tidak mementingkan pendidikan menjadi hal yang prioritas. ”Ada kasus, orang tuanya kurang kuat untuk memberi dorongan sang anak dalam menuntut ilmu jadi anaknya malas belajar dan tidak naik kelas kemudian sekolahnya diberentikan oleh orang tuanya,” ungkap Dewi.
Diharapkan para siswa PLK mendapat dua ijasah yang dapat ia gunakan, yaitu ijasah akademis dan kompetensi. Hingga tahap sosialisasi ini, belum ditentukan keterampilan apa yang akan diajarkan karena menurut Dewi keterampilan tersebut akan disesuaikan dengan permintaan siswa PLK. Sedangkan untuk tempat pendidikan juga belum ditentukan. ”Kalau saja ada yang bersedia tempatnya dipakai untuk belajar tapi nantinya dia tidak bisa menjalankan usahanya,” tutur Dewi.

Kebanyakan tempat mucikasi di gang doli ini terselubung dengan bisnis restaurant dan hiburan. ”Izinnya bisnis tempat hiburan tapi didalamnya ada kamar, dengan izin itu mereka bisa jalan dibawah departemen pariwisata,” jelas Dewi. Hal ini pernah Dewi tanyakan kepada pihak kepolisian namun karena surat izin yang dimiliki oleh pebisnis tersebut adalah legal jadi pihak kepolisian tidak dapat berkutik untuk menutup tempat mucikari tersebut.

Diharapkan dengan dibukanya PLK dilingkungan lokalisasi, sehingga anak-anak dapat bersekolah kembali. ”Pernah saya mendapat satu wejangan dari ustadz, pekerjaan paling tua adalah prostitusi jadi sampai seumur dunia tidak akan hilang. Yang dapat dilakukan hanyalah mengendalikan. Kendalinya dari tolak ukur pendidikan.

Sumber: http://www.ditplb.or.id

Kurikulum Khusus Penyandang Autis

Pendidikan bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual.

Data yang dimiliki Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar dari seluruh peserta sekolah khusus.

Jumlah terbesar adalah penyandang tuna grahita (keterbatasan intelektual) berat dan ringan sebanyak 38.545 peserta, tuna rungu 19.199 peserta. Diikuti kemudian penyandang tuna netra 3.218 peserta, tuna daksa 1.920 peserta dan autis sebanyak 1.752 peserta.

Di Indonesia, sekolah yang khusus menangani autis berjumlah 1.752 sekolah. Lima besar provinsi yang paling banyak mendirikan sekolah autis adalah Jawa Barat sebanyak 402 sekolah, Jawa Timur 263 sekolah, Daerah Istimewa Yogyakarta 131 sekolah. Kemudian diikuti Sumatera Barat dan DKI Jakarta yang masing-masing memiliki 111 sekolah untuk penyandang autis.

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso menyatakan, UU Sisdiknas No20 Tahun 2003 mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat. "Pemerintah mengakui dan melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagipenyandangautis," sebutnya.

Semua hal yang terkait dengan pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Namun begitu, Eko mengatakan, Diknas memberikan kebebasan kepada masing-masing sekolah untuk menentukan kurikulum bagi penyandang autis. Ini disebabkan setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda dalam mendidik penyandang autis.

Awal Psikolog dari sekolah khusus autis "Mandiga" di Jakarta, Dyah Puspita menyatakan, kurikulum autis harus dibuat berbeda-beda untuk setiap individu. Mengingat setiap anak autis memiliki kebutuhan berbeda. Ini sesuai dengan sifat autis yang berspektrum. Misalnya ada anak yang butuh belajar komunikasi dengan intensif, ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri dan ada juga yang hanya perlu fokus pada masalah akademis.

Penentuan kurikulum yang tepat bagi tiap-tiap anak, Dini Yusuf, pendiri homeschool untuk anak autis "Kubis" di Jakarta mengatakan, bergantung dari assessment (penilaian) awal yang dilakukan tiap sekolah. Penilaian ini perlu dilakukan sebelum sekolah menerima anak autis baru. Biasanya, penilaian melalui wawancara terhadap kedua orangtuanya. Wawancara ini untuk mengetahui latar belakang, hambatan, dan kondisi lingkungan sosial anak.

Selain itu, penilain awal ini juga melalui observasi langsung terhadap anak. Lamanya penilaian awal ini, menurut Dini,berbeda-beda."Tetapi, dari sana, kami lalu menentukan jenis terapi dan juga kurikulum yang tepat buat sang anak," ujarnya. Biasanya, terapi ini akan digabungkan dengan bermain agar lebih menyenangkan bagi anak autis.

Kepala Sekolah khusus autis, AGCA Centre Bekasi Ira Christiana, mengatakan, sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis. Di antaranya, terapi terpadu, wicara, integritas, dan fisioterapi. "Terapi apa yang diberikan tergantung dari kondisi anaknya," sebutnya.

Perlakuan terhadap penyandang autis di atas umur lima tahun berbeda dengan penyandang autis di bawah umur lima tahun. Terapi penyandang autis di atas umur lima tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. "Ini wajib hukumnya karena mereka sudah waktunya untuk sekolah," ujar Ira.

Jika penyandang autis yang berumur di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi sama sekali, maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada peningkatan syaraf motorik kasar dan halus. Bagi penyandang yang sudah bisa bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah reguler, dengan catatan mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis.

Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti terapi perilaku dan wicara. Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, meniru, dan okupasi. Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu, melafalkan huruf A,dan melafalkan konsonan.

Hal lain yang patut dicermati, menurut Ira, adalah konsistensi antara apa yang dilakukan di sekolah dengan di rumah. Jika terdapat perbedaan yang mencolok,kemajuan anak autis akan sulit dicapai. Anak mengalami kebingungan atas apa yang ada pada lingkungannya. Untuk itu, diperlukan komunikasi intensif antara sekolah dan orangtua.

Sumber: http://lifestyle.okezone.co

PENDIDIKAN KEAGAMAAN: Anggaran Depag Masih Jauh dari Ideal

SUKADANA (Ant/Lampost): Bupati Lampung Timur H. Satono pada Hari Amal Bakti (HAB) ke-63 Departemen Agama (Depag) di Sukadana, Lampung Timur, Rabu (7-1), mengatakan anggaran pendidikan di departemen tersebut jauh dari ideal."Kendati pemerintah terus menerus meningkatkan anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan, tetapi dinilai masih kurang," kata dia.Ia menyebutkan berdasarkan data dari Departemen Agama, dari tahun ke tahun pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Depag.Sebagai gambarannya, anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan tahun 2005 sebesar Rp3,284 triliun, dan pada 2009 direncanakan jumlahnya mencapai Rp14,888 triliun.Menurut dia, peningkatan jumlah anggaran tersebut masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan."Dengan anggaran yang terbatas itu, kita harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara signifikan memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan," ujarnya.Satono mengharapkan anggaran pendidikan itu harus dimanfaatkan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pemerintah dan rencana strategis Depag.Di tengah-tengah keterbatasan anggaran yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan, ia menegaskan bahwa kita tidak boleh patah arang atau putus semangat dan bersikap apatis, tetapi kita harus tetap yakin dan bekerja keras untuk mendayagunakan segala potensi yang ada.Anggaran yang terbatas justru harus menjadi tantangan agar kita lebih cerdas dan inovatif menentukan pilihan program dan kegiatan yang tepat sasaran," kata Satono pula.Terkait peringatan HAB tersebut, Kantor Depag Lamtim sebelumnya telah menyelenggarakan berbagai macam perlombaan yang bertujuan untuk memupuk silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan.Adapun lomba yang diselenggarakan adalah tenis meja, bola voli, catur, tarik tambang, dan bulu tangkis yang diikuti para pegawai dinas terkait.Pada kesempatan itu, panitia juga mengadakan lomba nasi tumpeng dan makanan nonberas seperti nasi oyek, tiwul, dan nasi jagung yang diikuti oleh para guru MAN, MIN, dan MTs.Hadir pada acara tersebut para guru agama se-Lamtim, juga tampak hadir pada saat itu petugas pencatat nikah (PPN), Dharma Wanita, dan para pejabat Kandepag Lamtim.n S-1

Sumber : http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009010723212631

Uji Publik RPMA Pendidikan Keagamaan Islam

Jumat, 27 Februari 2009
Jakarta (www.pondokpesantren.net) – Sebanyak 45 orang peserta dari berbagai kalangan baik praktisi pendidikan dan pimpinan pondok pesantren bertemu di Hotel Ibis Tamarin Jakarta selama 2 hari (26-27 Februari 2008) untuk melakukan uji publik terkait dengan RPMA Pendidikan Keagamaan Islam.

Para peserta itu terdiri atas para pejabat BSNP, Dekan Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah dari UIN/IAIN, pimpinan pondok pesantren, Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantran, Kepala Seksi Kanwil serta para Kasubdit Direktorat Pendikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI.

Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI bekerjasama dengan Badan Standar Nasionanal Pendidikan (BSNP) ini bertemakan; “Menegakkan Eksistensi Pendidikan Keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional”.

Dalam pidato sambutan selaku penanggungjawab acara sekaligus sebagai Kasubdit Pendidikan Diniyah, H. Mahmud, M. Pd mengatakan bahwa sebenarnya yang diupayakan menjadi peraturan menteri agama ini ada 4 hal yaitu; Pertama, RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam yang meliputi diniyah athfal, ula wustho, ulya dan ma’had Aly, ini yang formalnya. Sedangkan yang non-formalnya; majlis ta’lim, taman pendidikan al Qur’an (TPA), diniyah takmiliyah (pengganti madrasah diniyah) dan pondok pesantren.

Kedua, RPMA terkait dengan standar isi dari pendidikan keagamaan tingkat dasar`dan menengah. Ketiga, RPMA tentang standar kompetensi lulusan terkait di dalamannya pendidikan dasar dan menengah. Dan keempat RPMA tentang ujian nasional pendidikan keagamaan Islam.

Namun, sambung H. Mahmud, yang diujipublikkan hanya tiga hal (kecuali RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam) karena hanya ketiga hal itulah yang menjadi kewenangan BSNP.

Sebenarnya pertemuan kali ini adalah untuk kali keempatnya setelah BSNP menyarankan sebelum dikeluarkannya rekomendasi terhadap ketiga point diatas maka harus diadakan uji publik terlebih dahulu, inilah latar belakang adanya uji publik kali ini, lanjut H. Mahmud. (pip)

Sumber:http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=219&Itemid=36

10. Pemerintah Diminta Perhatikan Lembaga Pendidikan Keagamaan Swasta

Pemerintah Diminta Perhatikan Lembaga Pendidikan Keagamaan Swasta
Peraturan Pemerintah tentang pendidikan agama dan keagamaan, memang mendapat sambutan positif dari kalangan Ormas Islam. Namun dari kalangan lain mengharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan lembaga pendidikan keagamaan yang dikelola swasta, yang juga telah berperan bagi pencerdasan bangsa.Seperti yang dikatakan ang-gota presidium Masyarakat Pen-didikan Sulut (MPS), Febry Dien ST dan HA Assa SPd, Sabtu (17/11), pemerintah sekiranya lebih memperhatikan Lembaga Pen-didikan Keagamaan (LPK) swasta. Di samping itu juga memperhatikan lembaga pen-didikan umat minoritas.Menurut keduanya, peme-rintah sekiranya dalam mem-perhatikan masalah pendidikan agama dan keagamaan tidak pilih kasih dan mengenyam-pingkan LPK swasta. Perlu diketahui Peraturan Peme-rintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Aga-ma dan Keagamaan yang belum lama ini ditetapkan Presiden Su-silo Bambang Yudhoyono.Terwujudnya PP Nomor 55 Ta-hun 2007 ini merupakan tuntu-tan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa pen-didikan agama dan keagamaan perlu diatur dengan peraturan pemerintah. Pemerintah harus mengimple-mentasikannya sehingga mem-beri pencerahan bagi lembaga pendidikan keagamaan khusus-nya yang dikelola swasta. Se-perti tercantum pada Pasal 12 PP, pemerintah atau pemerintah daerah memberi bantuan sum-ber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Juga pemerintah melindungi keman-dirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak ber-tentangan dengan tujuan pen-didikan nasional. Pada penjelasan Pasal 12, menyebutkan pemberian ban-tuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga ke-pendidikan, dana, serta sa-rana dan prasarana pendi-dikan lainnya. Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendi-dikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendi-dikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyara-kat. Dan bantuan dana pen-didikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendi-dikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Sumber : http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2007/nov_19/lkMim001.html

Masyarakat Diajak Untuk Berpartisipasi dalam Pendidikan Keagamaan

Setelah keluarnya Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 14 taun 2005, dan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007, masyarakat diajak untuk berpartisipasi dalam pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Dorongan sekaligus ajakan ini datang dari Kanwil Depag Sulut melalui Kakanwil Depag, yang didampingi Kabid Urusan Ibadah dan Pendidikan Agama Kristen (PAK) Drs Jifry Kawung dan Hubmas Pdt John Tiaar STh, Kamis (14/02).
Menurut Kawung, dasar hukum pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan tersebut berdasarkan PMA nomor 14 tahun 2005 tentang [edoman pelnyelenggaraan Sekolah menengah Teologi Kristen (SMTK) serta ujian negara, dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Untuk pengembangannya menurut dia, ada petunjuk tekni dan kurikulum yang dikeluarkan Dirje Bimas Kristen Depag RI untuk Sekolah Dasar Teologi Kristen (SDTK), Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen (SMPTK), dan Sekolah Menengah Agama Kristen (SMTK).
“Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yagn mempersiapkan peserta didik mejadi anggota masyarakat yang emmahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agaman dan menjadi ahli ilmu agama,” tambahnya.
Pendidikan keagamaan jelas dia, merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Sementara itu tentang tujuan pendidikan keagamaan tambahnya, pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang memperisiapkan peseta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
“Berdasarkan hal inilah kami mengharapkan pada seluruh yayasan, sinode gereja-gereja, atau pimpinan gereja, sekiranya dapat menyelenggarakan Sekolah Menengah Teologi Kristen, bahkan dari tingkat SD,” tambahnya. (lex)


sumber : http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2008/feb_15/lkMim001.html

4. Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Perpustakaan

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini (PAUD)
adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan kunci utama sukses
tidaknya sebuah program pendidikan nasional suatu bangsa.
Penelitian di bidang neurologi menyebutkan selama
tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang pesat dengan
menghasilkan neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan.
Sambungan itu harus diperkuat melalui berbagai rangsangan
karena sambungan yang tidak diperkuat dengan rangsangan
akan mengalami atrohy (menyusut dan musnah). Banyaknya
sambungan inilah yang mempengaruhi kecerdasan anak. Dosis
rangsangan yang tepat dan seimbang akan mampu
melipatgandakan kemampuan otak 5 hingga 10 kali kemampuan sebelumnya.

Ironisnya, pemerintah kita terhitung terlambat dalam
memberikan perhatian kepada anak usia dini. Mereka
dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam kondisi "ala
kadarnya".

Sampai saat ini diperkirakan 80 persen
anak usia dini belum tersentuh PAUD. Tatkala anak usia
dini di Singapura sudah terjangkau semuanya dengan PAUD,
anak usia dini di Indonesia masih dibayang-bayangi oleh
ancaman gizi buruk. Data tahun 2002 menunjukkan 1,3 juta
anak Indonesia mengalami kekurangan gizi. Padahal menurut
Azrul Anwar (2002) setiap anak dengan gizi buruk beresiko
kehilangan IQ hingga 10 - 13 poin. Ini berarti
bangsa kita beresiko kehilangan IQ sekitar 22 juta poin.

Secara kualitas maupun kuantitas PAUD masih belum bisa
berjalan sesuai dengan harapan. PAUD yang diselenggarakan
melalui jalur pendidikan formal seperti Taman Kanak-Kanan
dan sejenisnya hanya bisa diakses oleh golongan menengah
ke atas. Masyarakat menengah ke bawah lebih suka langsung
menyekolahkan anaknya ke jenjang Sekolah Dasar untuk
menghemat biaya. Bagi masyarakat lapisan ini masih bisa
titip anak ke Taman Pendidikan Al Quran di Masjid sudah
merasa 'legaaa'.

Yang memprihatinkan saat ini muncul gejala komersialisasi pendidikan anak usia dini dengan menjamurnya TK 'unggulan dan terpadu';. Bagi masyarakat
'pas-pasan'; jangan harap bisa menyekolahkan
anaknya di TK 'unggulan dan terpadu'; ini. Di
kota kecil saja sudah berkisar 2 jutaan, di kota sedang
seperti Solo berkisar 5 jutaan, dan di kota besar seperti
Jakarta konon mencapai angka 10 jutaan atau mungkin bisa
lebih.

Selain gejala komersialisasi, pendidikan anak usia dini juga diwarnai oleh pembebanan yang 'overdosis' terhadap anak. Anak usia dini memperoleh perlakuan yang sama dengan anak usia sekolah dasar. Pembelajaran terlalu fokus pada kemampuan baca, tulis, dan hitung. Orang tua dan guru akan senang sekali jika balita maupun batitanya sudah lancar membaca dan menulis. Sebaliknya akan merasa gundah jika balita dan batitanya belum lancar membaca dan menulis.
Salah kaprah ini terus berlanjut ketika sang anak harus mengikuti tes/ujian masuk SD (Sekolah Dasar). Cukup banyak SD favorit yang menyaring calon siswa dengan menguji
kemampuan baca-tulisnya. Seolah hendak mengatakan bahwa
syarat masuk SD tersebut adalah sudah lancar baca-tulis.
Sehingga guru SD Klas 1 nanti tak perlu repot-repot
mengajari peserta didik baca dan tulis. Padahal orang tua
menyekolahkan anak ke SD adalah supaya anaknya diajari
baca dan tulis.

Dunia anak adalah dunia bermain. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) harus bertitik tolak dari kaidah ini. Pembelajaran anak usia dini harus dibedakan dengan pembelajaran anak usia sekolah dasar. Nuansa bermain tak boleh hilang dari model pembelajaran anak usia dini.

Pembebanan yang berlebihan justru akan berakibat kontaproduktif bagi perkembangan sang anak. Anak bisa menjadi trauma dengan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, pembelajaran pada anak usia dini mestinya lebih bersifat memberi rangsangan pada anak agar tumbuh minatnya dalam membaca, menulis, dan berhitung. Fauzil Adhim (2006) menyebutnya dengan 'semangati jangan bebani'.

PAUD Berbasis Perpustakaan

Perpustakaan dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan akses anak usia dini terhadap PAUD. Perpustakaan umum kabupaten/kota dapat membuka layanan
khusus anak. Layanan anak ini diberi ruang tersendiri yang
terpisah dengan layanan remaja dan dewasa. Layanan anak
ini sangat relevan jika dikaitkan dengan visi dan misi
perpustakaan yaitu meningkatkan minat baca masyarakat.
Membuka layanan anak berarti merupakan upaya untuk
menumbuhkan minat baca sejak usia dini.

Ruang layanan anak dapat disulap menjadi dunia yang layak
bagi anak-anak. Dunia, di mana semua anak memiliki peluang
cukup besar untuk mengembangkan kapasitas individual
mereka dalam lingkungan yang aman dan supportif. Dunia
yang mendorong perkembangan fisik, psikologis, spiritual,
sosial, emosional, kognitif dan budaya anak-anak sebagai
prioritas nasional dan global.

Alat permainan edukatif dapat menjadi pilihan cerdas
perpustakaan untuk membuat anak-anak betah bermain di
ruang layanan anak. Penggunaan alat permainan edukatif ini
memiliki manfaat, pertama, untuk membantu perkembangan
emosi sosial anak. Balok bangunan, aneka macam mozaik,
puzel lantai, dan papan permainan menurut para ahli sangat
bermanfaat bagi anak untuk belajar menguasai emosi
sosialnya.

Kedua, untuk mengembangkan kemampuan motorik halus
seorang anak. Dalam hal ini dapat digunakan lilin, bikar,
papan tulis, kertas, alat tulis, alat pasang memasang,
kerikil, dan gunting. Penggunaan alat permaianan ini
sangat penting untuk meningkatkan koordinasi antara mata
dan tangan. Ini bertujuan agar anak dapat membuat garis
lurus horizontal, garis lurus vertikal, garis miring
kanan, garis miring kiri, garis lengkung, maupun
lingkaran.

Ketiga, untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar
seorang anak, yaitu kemampuan menggunakan otot besar.
Arena mandi bola (melempar dan menagkap bola), titian
bambu (meniti sambil melihat lurus ke depan), perosotan,
ayunan, dan lompat tali merupakan kegiatan permainan yang
dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh dengan tangkas dan
tegas.

Keempat, untuk mengembangkan kemampuan berbahasa seperti
mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan menyimak.
Untuk meningkatkan kecerdasan berbahasa ini dapat
dipergunakan kumpulan gambar binatang, gambar tumbuhan,
gambar pemandangan alam, gambar panca indera, gambar
anatomi tubuh, gambar huruf, gambar angka, dan cerita
bergambar.

Agar anak-anak semakin menikmati perpustakaan, maka di
ruang layanan anak dapat di gelar layanan mendongeng.
Mendongeng merupakan tradisi lisan tertua di dunia yang
hingga kini belum tergantikan oleh tayangan televisi
maupun VCD sekalipun. Ada nuansa khas tersendiri dalam
mendongeng, yaitu terciptanya komunikasi dua arah antara
pendongeng dan anak-anak. Inilah yang tidak dapat
dilakukan oleh televisi maupun VCD.

Prosesi mendongeng tak perlu disampaikan sampai tamat,
cukup sampai pertengahan. Hal ini bertujuan agar sang anak
yang mencari dan belajar 'membaca'sendiri
buku tersebut. Dengan demikian terjadilah sinergi antara
tradisi lisan dan tradisi baca.

Layanan anak usia dini oleh perpustakaan ini memiliki
beberapa keunggulan, pertama, bersifat gratis. Bagi
masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke TK
dapat memanfaatkan layanan ini.

Kedua, bersifat terbuka. Ruang layanan anak dapat diakses
oleh siapapun tanpa membedakan status sosial, ekonomi,
agama, suku, ras, dan golongan. Golongan menengah ke
bawah yang selama ini terpinggirkan dapat memanfaatkan
ruang layananan anak ini untuk memberi kesempatan kepada
batita dan balitanya bermain sambil belajar. Berekreasi di
perpustakaan.

Ketiga, menumbuhkan semangat membaca sejak dini. Dengan
bermain di perpustakaan anak-anak sudah diperkenalkan
sejak dini bahwa perpustakaan dengan segala aktivitas di
dalamnya merupakan tempat yang menyenangkan. Dalam
perkembangan selanjutnya diharapkan anak tidak menganggap
membaca, menulis, dan berhitung sebagai pekerjaan yang
membosankan melainkan menyenangkan.

sumber:
http://www.wedangjae.com/index.php?option=com_content&task=view&id=238&Itemid=30

9. Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Terabaikan

Prinsip prinsip kurikulum untuk pendidikan anak usia dini hendaknya digali dari anak dan dunia anak itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum merumuskan kurikulum untuk anak, hendaknya dipahami dahulu. siapa. mereka, dan bagaimana karakteristik mereka. Para perumus kurikulum pendidikan anak usia dini hendaknya memahami bahwa dunia anak adalah dunia bermain, setiap anak berhak mencoba dan melakukan kesalahan. Harus diakui kurikulum pendidikan anak usia dini masih terabaikan
Berbagai hasil studi menunjukkan, jika pada masa usia dini terutama masa emas (4 tahun kebawah) seorang anak mendapat stimuIasi maksimal, maka potensi anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Demikian diungkapkan Mendiknas Malik Fadjar, dalam "Semiloka Nasional Pendidikan Anak Usia Dini" di Universitas Negeri Jakarta, pekan lalu.Malik Fadjar mengatakan, dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak sudah mendapatkan perhatian yang besar. Dalam UU ini ditegaskan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya. Terlebih, dunia internasional juga sudah menyepakati perlunya memberikan perhatian terhadap masalah pendidikan anak usia dini.Dalam penjelasannya Malik juga menegaskan penyusunan kurikulum pendidikan anak usia dini yang harus memperhatikan setiap kebutuhan anak. "Sebab, setiap tingkat usia anak membawa implikasi tugas dan perkembangan tertentu bagi setiap anak. Oleh karena itu kurikulum pendidikan anak usia dini hendaknya merupakan kurikulum yang berpihak kepada anak. Dalam arti, memperlakukan anak sesuai dengan tingkat usia dan perkembangan mentalnya," ujarnya.Malik menambahkan, aspek kecerdasan anak juga harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan kurikulum pendidikan anak. "Selain itu, kebutuhan spesifik setiap anak, kaitan dengan kondisi alam dan pola hidup, serta budaya masyarakat tempat mereka tinggal, hidup, dan dibesarkan juga harus diperhatikan," tegasnya.Kecerdasan BerbedaSementara itu, pakar pendidikan, Setio Wibowo menegaskan bahwa setiap anak memiliki bakat dan kecerdasan yang berbeda beda mulai dari seni, olahraga, musik hingga kecerdasan intelektual. Namun sayang, orang tuamaupun sekolah sering salahdalam menilai bakat anakdengan mengagungkan ilmupengetahuan alam (IPA) se¬perti matematika, fisika, bi¬ologi maupun kimia sebagaiyang terbaik. Berbagai upaya,dilakukan orangtua dan seko¬lah agar nilai nilai dalam IPAlebih tinggi dibandingkandengan mata. pelajaran lain.Padahal, upaya semacam itujustru menyia nyiakan bakatanak di bidang lain."Banyak orang tua yang mengganggap anak yang jago matematika, fisika, atau mata pelajaran IPA lainnya sebagai anak yang pandai. Kasihan sekali anak yang berbakat luar biasa pada musik atau tari, tetapi nilai matematikanya jeblok. Mereka bukannya tidak pandai, tetapi memiliki bakat di luar mata pelajaran IPA. Akibat kecenderungan itu, anak berbakat di luar bidang IPA tidak terakomodasi dengan baik dalam sistem pendidikan yang ada," katanya.Dikatakan, mata pelajaran ekstra kurikuler yang seharusnya bisa menjadi solusi dalam masalah ini justru ditangani dengan seadanya. Hal itu terlibat pada mata pelajaran ekstra kurikuler yang terlalu sederhana dan berkesan seadanya. "Masa mata pelajaran ekstra kurikuler di sekolah cuma ada memasak atau elektronik atau merangkai kembang. Anak cuma diberi pilihan pilihan yang tidak sesuai dengan keinginan maupun bakat yang terpendam, sehingga mata pelajaran ekstra kurikuler yang seharusnya bisa memberi "makan" pada bakat anak menjadi sia sia dan mubazir," paparnya.Seharusnya, ujarnya, saat mata pelajaran ekstra kurikuler anak diajak bicara apa saja yang dibutuhkan untuk mengembangkan bakat dan kreativitas di luar mata pelajaran wajibsekolah. Setiap anak difasilitasi atas apa yang diinginkan, sehingga bakat dan kecerdasan intelektual anak berkembang bersama. Jadi anak tahu apa yang menjadi bakatnya untuk dipakai sebagai bekal di masa depan. Karena anak yang memiliki bakat akan melakukan pekerjaannya dengan kreativitas yang berbeda dibanding anak lain.Dicontohkan, guna mengisi mata pelajaran ekstra kurikuler dengan kegiatan yang disenangi masing masing anak. Setelah itu, akan dibentuk kelompok kelompok berdasarkan hobinya. Misalnya, ada anak yang sedang kegiatan menyelam maka dicarikan klub yang bisa mengajar soal, sehingga mata pelajaran ekstra kurikuler ini menjadi sesuatu yang menggairahkan anak anak. Karena semua hal yang dilakukan berdasarkan hobinya masing masing."Berdasarkan pengalaman itu, upaya ini bisa dilakukan bila pendidik maupun kepala sekolah bertindak kreatif. Dengan kreativitas itu maka kendala dana yang selama ini dianggap masalah, tidak berarti lagi. Saya membuat segala kegiatan ektra kurikuler di Labs Scholl dahulu tidak pakai biaya mahal. Karena yang penting adalah bagaimana bisa memanfaatkan peluang yang ada untuk kepentingan anak. Kalau kita kreatif, maka masalah dana tidak lagi menjadi masalah," paparnya. Soal kurikulum pendidikan di Indonesia sudah cukup, mengakomodasi program ekstrakurikuler selain program intrakurikulernya. Kurikulum yang ada sudah mengakomodir tetapi pelayanannya harus lebih dikembangkan untuk mengejar potensi potensi bakat siswa. Kunci utama dari masalah ini terletak pada kemampuan pendidik dan kepala sekolah untuk mengembangkan ide ide yang mampu mendorong keberbakatan anak.la mengakui, sebagian sekolah memang masih menonjolkan keunggulan dalam prestasi nilai pelajaran ketimbang prestasi yang diperoleh dari kreativitas yang dihasilkan dari kegiatan ekstrakurikuler. Sekolah sekolah cenderung lebih mengunggulkan ujian, ketimbang prestasi yang diperoleh karena bakat anak.
(Suara Pembaruan: 11/10/04)

Pendidikan Anak Usia Dini Tanggung Jawab Siapa?

Pendidikan anak usia dini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, baik dari keluarga, lingkungan maupun pemerintah. Karena bagaimanapun, masa kanak-kanak sangat berpengaruh pada proses tumbuh kembang karakter, kepribadian dan pertumbuhan jasmani si anak. Merujuk pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Anak Usia Dini (RPP PAUD) yang mengatur pendidikan usia dini salah satunya bertujuan untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, dan sosial peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan. Tapi sayang dalam pelaksanaannya pendidikan anak sejak masih dalam kandungan sampai usia enam tahun ini, sering terabaikan. Banyak orang tua, justru menganggap pendidikan taman kanak-kanak (TK) tidak penting, faktor ekonomi, juga sering menjadi faktor pembenar untuk tidak memasukan anak-anaknya di bangku TK. Sekolah-sekolah TK tersebut memang sudah banyak bertebaran di berbagai kawasan elit sampai kawasan kumuh. Dari yang berdana besar sampai yang menggunakan anggaran seadanya sehingga harus kembang kempis untuk membiayai operasionalnya. Sekolah-sekolah taman kanak-kanak tersebut di kelola swasta sebagai penyelenggaranya.

Dengan alasan tingginya biaya operasional, tidak sedikit pihak pengelola menetapkan uang SPP dengan mahal, dan sebagai kompensasinya pihak sekolah memberikan akses layanan pendidikan dengan standarisasi mutu sesuai dengan akreditasi, begitu juga dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Tentu adalah sebuah kewajaran. Namun ternyata ada juga sekolah yang masih berjalan dengan ala kadarnya.

Di tengah kepadatan penduduk, kawasan dukuh kupang barat, sebuah sekolah TK menempati balai RT berukuran 3x5 meter yang terbuat dari gedhek. Siang itu Rabu 04/04/07, sebanyak 35 murid sedang belajar berhitung bersama ibu guru Rusiyah. Seperti sedang mengajari anaknya sendiri, perempuan berputra dua ini sesekali harus mendatangi meja murid-muridnya untuk membetulkan jari-jari tangan mungil yang dijadikan alat bantu untuk menghitung. Tak jarang juga perempuan asli Kebumen yang mengaku hanya lulusan SMEA ini harus berteriak di antara celoteh dan tangis murid-muridnya. Pekerjaan sosial ini telah dilakukan sejak empat tahun lalu bersama suaminya Sukirno (34 tahun).

Saat di datangi www.pdiperjuangan-jatim.org Sukirno yang akrab dipanggil pak guru oleh warga sekitar ini sedang sibuk menambal ban motor. � Ya, beginilah mas pekerjaan sampingan saya untuk makan sehari-hari, tadi ya ngajar, terus saya tinggal karena ada yang manggil untuk nambal ban ini, lumayan untuk kebutuhan sehari-hari�, begitulah Sukirno nyerocos mengawali pembicaraan. Menurutnya Ia dan istrinya lebih sering harus mengalah dengan tidak mengambil gaji dari sekolah yang di kelolanya, sehingga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari di samping membuka usaha tambal ban di depan rumah petaknya, lelaki lulusan STM ini juga memberikan les privat kepada anak-anak tetangganya.

�Coba saja sampeyan hitung sendiri, dengan SPP Rp 12.500 per anak, perbulan kelihatannya memang besar, itu kalau bayar semua, lha kenyataannya sebulan yang bayar paling-paling sepuluh orang atau paling banter 15 orang, dikurangi biaya operasionalnya, habis mas, mau nagih ya gimana wong sama susahnya�, sambil tertawa lelaki asli Surabaya ini menceritakan sulitnya menanamkan tanggung jawab ke orang tua murid-muridnya yang rata-rata bekerja sebagai pemulung bahkan menurutnya, juga ada yang menunggak SPP sampai anaknya lulus maupun yang tidak mengambil ijazah.

Sementara ketika di singgung mengenai perkembangan anak asuhnya, pasangan suami istri ini mengaku bangga meskipun harus berada di tengah-tengah keterbatasannya. �Saya nggak malu ngelola sekolah ini, meskipun disini keadanya hanya begini, sebab ada juga beberapa mantan anak didik kami yang juga juara kelas di sekolah SD nya sekarang�.

Hanya saja, menurut Sukirno hampir tidak ada orang yang mau peduli dengan nasib keberadaan sekolahnya. Semuanya dikerjakan sendiri bersama istrinya, mulai dari mengurus yayasan, administrasi, mengajar semua di lakukan sendiri. �ibarat berjuang mas, tenaga, pikiran dan uang, itu kalau ada saya curahkan semuanya untuk ngurus sekolah ini sendirian saja. tetangga? siapa sih mas yang mau dengan sukarela kalau nggak ada duitnya, sampeyan tahu gimana warga sini sehari-harinya mereka hanya sibuk untuk berusaha memenuhi kebutuhannya�, begitulah Sukirno menggambarkan keseharian para tetangga yang sekaligus menjadi orang tua murid-muridnya yang sehari-hari menempati rumah petak di tanah Yayasan Makam Dukuh Kupang.

Ketika di singgung untuk mengajukan dana bantuan ke pemerintah pak guru Sukirno mengaku tidak tahu cara pengurusannya, apalagi status sekolah yang di kelolanya pun hanya sebatas ijin pemberitahuan ke kecamatan namun Sukirno juga mengaku bersyukur bahwa di tahun 2006 yang lalu dirinya mendapat insentif dari Diknas sebesar Rp 345.000 / 3 bulan. Namun tahun 2007 ini menurutnya masih dalam proses pengajuan ke Diknas.(Lly)

Sumber : http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=81

Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Usia Dini

KabarIndonesia - Resolusi 47/237 Sidang Umum PBB pada tanggal 20 September 1993, memutuskan bahwa setiap tanggal 15 Mei tiap tahunnya akan diperingati sebagai Hari Keluarga Internasional. Setiap tahunnya, dipilih tema-tema yang menjadi fokus kampanye dan aksi pada tahun itu. Tema untuk tahun 2008 ini adalah ” Ayah dan Keluarga: Tanggung Jawab dan Tantangan”.

Sebuah tema yang unik dan benar-benar menantang, karena biasanya pembahasan tentang keluarga lebih menitikberatkan pada ibu dan anak . Menurut Eric Olson dari Divisi Kebijakan dan Pembangunan Sosial, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, tema ini dipilih dengan penekanan pada peran ayah dalam keluarga dan pentingnya tanggung jawab dan tantangan yang menyertainya.

Ayah dan Keluarga

Saat ini, keluarga-keluarga di dunia sedang mengalami banyak perubahan, mulai perubahan dari kehidupan berkeluarga besar menjadi keluarga inti, meningkatnya jumlah wanita (termasuk ibu) dalam dunia kerja, meningkatnya angka cerai-kawin, meningkatnya jumlah kelahiran tanpa pernikahan, meningkatnya jumlah wanita sebagai orang tua tunggal dan kepala rumah tangga, serta jumlah ayah yang tinggal jauh dari keluarga. Fenomena-fenomena tersebut, menurunkan peran ayah dalam keluarga sebagai pendidik, kepala rumah tangga, dan pencari nafkah dalam keluarga.

Meningkatnya angka perceraian, membuat banyak wanita terpaksa mengambil peran ayah bagi anak-anaknya. Efek yang terjadi biasanya menyangkut lemahnya capaian kebutuhan finansial bagi keluarga, yang seringkali berpengaruh pada perkembangan anak bahkan tidak jarang berujung pada terlibatnya anak pada kriminalitas.

Sisi lain adalah meningkatnya jumlah ayah yang menjadi pekerja migran, seperti yang dialami para TKI kita di Taiwan, Malaysia atau Saudi Arabia. Tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi membuat para ayah terpaksa bekerja jauh dari keluarga dalam waktu lama. Selain efek terhadap perkembangan jiwa anak, tidak jarang fenomena ini membuat banyak masalah dalam keluarga.

Banyak diantara para ayah pekerja migran ini berperilaku seks bebas, sehingga ini juga meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS. Hal ini menjadi hal yang juga dipikirkan oleh UNFPA (United Nations Population Fund) yang memilih tema “Ayah Pekerja” pada peringatan Hari Populasi Dunia tahun 2007 lalu, dengan mengkampanyekan tanggung jawab ayah selain bekerja bagi keluarga adalah antara lain mendukung istri hamil, merawat bayi-bayinya, mendidik anak termasuk anak perempuan dan berbagi untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya.

Tidak bisa dipungkiri begitu besar peran ayah dalam keluarga. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengembalikan peran ayah dalam keluarga ini, dengan berbagai kebijakan yang mendukung hal tersebut. Pendidikan berkeluarga bagi pasangan pra nikah, pendidikan bagi orang tua sebagai guru bagi anak-anaknya (parents as a teacher/PAT), bahkan usaha untuk menciptakan peluang kerja yang kondusif di dalam negeri adalah hal-hal yang harus diperhatikan oleh negara.

Ayah dan ASI

Salah satu hal sederhana yang sering terlupakan adalah penjagaan ayah terhadap istrinya yang berstatus sebagai ibu hamil (bumil) dan ibu menyusui (busui). Perawatan janin selama kehamilan bukan saja tanggung jawab istri, namun juga suami. Begitupun tanggung jawab untuk memberikan air susu ibu eksklusif (ASIX) bagi bayinya adalah juga tanggung jawab ayah. Mendapatkan ASIX adalah hak anak, dan dengan begitu besarnya manfaat ASIX, yang tidak bisa tergantikan oleh susu formula (sufor), maka penjagaan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut menjadi penting.

Komitmen ayah dan ibu menjadi penting untuk dibuat. Termasuk momen yang justru sering terlewatkan adalah pemberian ASIX yang sarat kolostrum pada bayi yang baru lahir (newborn baby). Masih terdapat fenomena pemberian sufor oleh dokter/bidan/perawat kepada bayi baru lahir, padahal sang ibu mampu untuk memberikan ASI-nya. Ketidakpahaman dan kadang juga karena motivasi bisnis praktisi kesehatan, sering memaksa bayi baru lahir mengkonsumsi sufor, padahal bisa jadi sang orang tua bayi sudah memiliki rencana untuk memberikan ASIX pada buah hatinya.

Ketidakpahaman itu seringkali mendapatkan justifikasi ketika sang ibu memiliki masalah dengan belum keluarnya ASIX, padahal bayi baru lahir mampu menunggu disusui hingga lebih dari satu hari. Ketika sang ibu masih tergolek setelah melahirkan, disinilah peran ayah untuk menjaga agar bayinya mendapatkan hanya ASIX.

Pengaturan peredaran sufor via peraturan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Pemda Sulawesi Selatan dan Klaten adalah hal yang baik, termasuk dalam hal ini menyiapkan fasilitas nursery ditempat umum atau di tempat kerja, adalah kebijakan yang harus didukung dan dikembangkan. Di Taiwan, setiap tempat umum terdapat fasilitas nursery room yang bagus. Termasuk dalam hal ini adalah kebijakan cuti bagi ibu menyusui.

Di Inggris, terdapat peraturan yang melarang penitipan bayi dibawah usia 9 bulan, dan pemberian cuti melahirkan bagi para wanita pekerja hingga 9 bulan. Swedia bahkan tidak hanya memberikan ibu, namun juga ayah pekerja yang memiliki bayi hingga 12 bulan dan masih memberikan 80 persen gaji. Singapura sejak zaman Lee Kwan Yew memberikan subsidi pada ibu-ibu hamil dan menyusui agar mendapatkan asupan yang cukup dan bergizi.

Bagi para orang tua Indonesia, seraya menunggu lahirnya kebijakan yang berpihak pada investasi pembangunan SDM sejak dini ini, adalah tanggung jawab ayah untuk mengalihkan alokasi dana untuk pembelian susu formula dengan memberikan asupan gizi yang cukup pada ibu menyusui, sehingga ASIX bisa diberikan pada bayi baru lahirnya.

Ayah dan Pendidikan

Setelah merawat bayinya, pada masa pertumbuhan sang anak, peran ayah untuk memberikan pendidikan secara berjenjang pada anak-anaknya adalah tanggung jawab yang mulia. Memberikan pendidikan agama dan budi pekerti, mengembangkan psikologi yang sehat bagi anak, pengembangan kognitif dan motorik anak usia dini, menyiapkan pendidikan dasar, menengah hingga tinggi harus disiapkan oleh ayah dengan sebaik-baiknya.

Tidak benar merasa cukup dengan menyekolahkan anak mulai TK hingga PT, dan melepaskan diri dari tanggung jawab pendidikan. Dari keluargalah anak dibentuk, digembleng dan diarahkan. Jika keluarga rusak, maka rusaklah anak, dan sebaliknya. Peran ayah sebagai kepala keluarga yang baik akan mengantarkan terbentuknya generasi penerus yang tidak saja kuat intelegensinya, namun juga terampil dan memiliki kemampuan afektif yang bagus. Selamat berjuang kepada para ayah untuk mewujudkannya.

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn

Perbanyak Sekolah Informal

oleh : Maya A. Pujiati

Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan “masa depan” finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.

Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.

Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.

Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.

Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.

Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini.

Sumber: http://pustakanilna.com

Sekolah Informal Memanusiakan “Orang Asing Liar”

Cukup berat. Itu faktanya kalau bekerja sebagai buruh di kapal nelayan Thailand. Saw tahu itu namun harus menjalaninya. Dia bekerja sebagaimana umumnya terjadi yaitu menjadi orang asing tanpa dokumen resmi. Pria berusia 15 tahun itu berasal dari Myanmar.

Anak muda yang tidak suka memberikan nama lengkapnya itu punya satu hal yang selalu dinantikan: Dia menanti suasana Sabtu sore di gedung olahraga Gereja St. Anna. Di kota pelabuhan Samut Sakhon yang berjarak 40 kilometer barat daya Bangkok itu, gedung itu merupakan tempat nongkrong setelah berhari-hari bekerja. Setiap Sabtu itu, ketika tidak berada di kapal di Teluk Thailand, Saw menikmati sauasana di sana bersama teman-teman, sambil belajar baca-tulis dan bermain sepak bola.

“Sekolah” informal di gedung olahraga gereja itu dipakai oleh sekitar 20 anak usia 2 hingga 15 tahun. Mereka adalah anak-anak dari orang-orang asing liar asal Myanmar. Seorang frater, pastor setempat, dan dua guru agama Buddha mengelola sekolah itu dengan dana dari paroki itu telah setahun menyempatkan setiap hari Sabtu untuk berkarya bersama anak-anak muda sebagai bagian dari karya pastoralnya.

Frater tahun ke tiga itu mengajar mereka berhitung dan Bahasa Thailand, serta memberikan pendidikan etika dan pengetahuan umum. Ia juga bermain sepak bola, voli dan bulu tangkis dengan mereka, serta melakukan kegiatankegiatan ke luar seperti piknik.

Pastor Peter Theeraphol Kobvithayakul, kepala Paroki St. Anna, mengatakan kepada UCA News, dulu dia berkarya bersama para migran muda asal Myanmar. Mereka kerap tidak punya waktu untuk kegiatan bersama karena mereka harus bekerja. “Itulah sebabnya, kata Peter, “kami beralih menangani anak-anak seperti Saw.

Saw dan keluarganya tinggal di sebuah ruangan kosong. Pemerintah tahu bahwa mereka ada, namun secara teknis mereka tidak keluar. Mereka digolongkan sebagai orang asing liar, tidak punya hak atau dokumen-dokumen kerja resmi. Saw dan imigran asal Myanmar lain hanya diberikan toleransi kalau perusahaan dan majikan butuh buruh yang murah.

Menteri tenaga kerja memperkirakan bahwa Thailand memiliki 2 juta imigran liar dari Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Di Thailand, seperti tempat manapun, pekerja asing liar menjadi pekerja kasar. Industri perikanan, khususnya, sangat terkenal dengan kondisi penuh bahaya dan perlakuan buruk terhadap para pekerja Myanmar.

Orang asing liar ini mengerjakan hal-hal yang tidak mau atau tidak akan dikerjakan oleh orang-orang Thailand. Menurut Kementerian Tenaga Kerja Thailand, di Provinsi Samut Sakhon saja ada 300.000-400.000 orang asing liar ini. Sebagian besar dari mereka itu bekerja sebagai buruh di kapal nelayan atau penyeleksi udang.

Menghadapi hidup keras dan diskriminasi, banyak yang jatuh ke dalam kebiasaan buruk. Begitu kata dua guru sekolah informal itu. Para guru itu berusaha melawan berbagai kebiasaan negatif orang-orang ini yaitu menggunakan obat-obat terlarang atau minum-minuman keras.

Dari awal, kata para guru setempat, mereka membantu para imigran untuk belajar bersikap etis. “Kami mengajar mereka tentang disiplin diri”, kata guru Thitimaphorn Chaisamut.

Ia dan koleganya Munthanee Serthong, keduanya beragama Buddha, bekerja dengan orang muda ini selama tiga tahun. Banyak dari mereka berbicara hanya bahasa Myanmar, katanya, tapi sekarang mereka belajar bahasa Thai. “Saw adalah seorang anak laki-laki yang baik,” kata Thitimaphorn. Dia tidak minum maupun merokok.

Ketika sedang duduk dan menulis karakter bahasa Thai, dia mengatakan kepada UCA News, “ Saya memberikan semua pendapatanku kepada ibuku.”

Orangtua Saw datang ke Thailand beberapa tahun lalu untuk mencari pekerjaan. Bapaknya bekerja di sebuah kapal dan ibunya bekerja di pabrik. Saw mengatakan ia bekerja berjam-jam menangkap ikan hanya agar bisa memperoleh 4.700 baht (US$130) setiap bulan. Upah minimum per hari yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Bangkok dan Samut Sakhon adalah 191 baht. Saw dan orangtuanya tinggal di ruangan kecil di sebuah blok apartmen yang menampung puluhan migran Myanmar.

Pastor Theeraphol mengakui sejumlah orang di parokinya tidak senang dengan pelayanan yang ia lakukan. Katanya, “tidak ingin kami membangunkan anak-anak macan.”

Rupanya masyarakat lokal takut bahwa para imigran yang terdidik akan menuntut banyak uang dan memperoleh upah di atas para pekerja asal Thailand sendiri.Imam itu menjawab, dirinya hanya ingin anak-anak itu bertumbuh menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab. Mereka harus tumbuh menjadi anggota masyarakat yang baik.. “Kami berusaha melakukan apa yang bisa kami lakukan,” ujar Theeraphol. dan Keuskupan Agung Bangkok. Frater Wattana Sornnuchart, 27, mahasiswa di Seminari Tinggi Sam Phran, 30 kilometer barat Bangkok.


skbbombanakab.diknas.go.id

8. Homeschooling Solusi, atau Kerugian

Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan?

Homeschooling dan Legalitas

Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini.

Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008).

Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling

Keuntungan dan Kerugian

Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka.

Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya

Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum.

Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia

Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ?� buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal.

Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.Â

Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah.

Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah anda.

Sumber: http://re-searchengines.com/huzaifah10808.html

8. Homeschooling Solusi, atau Kerugian

Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan?

Homeschooling dan Legalitas

Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini.

Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008).

Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling

Keuntungan dan Kerugian

Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka.

Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya

Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum.

Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia

Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ?� buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal.

Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.Â

Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah.

Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah anda.

Sumber: http://re-searchengines.com/huzaifah10808.html

Selasa, 14 April 2009

Penutupan Finalisasi Pedoman Pendidik Pendidikan Non formal

Kategori: Liputan Khusus (130 kali dibaca)
Rabu, 4 maret 2009
Bandung
Kegiatan Finalisasi Pedoman Pendidik PNF akhirnya ditutup oleh Kasubdit Pendidik PNF, DRs. Nasruddin yang didampingi oleh Kasi Pengembangan Karir, Subdit Pendidik PNF dan para Narasumber.Drs. Nasruddin menyampaikan tentang tanggapan hasil pleno umum finalisasi pedoman, target capaian kegiatan pembahasan pedoman serta pembulatan/kesimpulan kegiatan pembahasan pedoman peningkatan mutu Pendidik PNF."pada pedoman diklat, adanya dinamika pembahasan (I,II) dan perubahan kebijakan membawa konsekwensi perubahan fokus pembahasan dan penyempurnaan yang signifikan; Struktur materi (terjadi penyempurnaan); Alur strategi pelatihan (terjadi perubahan yang lebih jelas); serta jam pelatihan (kebutuhan dan kondisi dukungan anggaran)." "Sedangkan untuk pedoman Tutor Inti terjadi perubahan yang signifikan) dimana pemberdayaan masih berupa rintisan di 11 provinsi, 55 kab/kota,dengan sasaran 330 orang (diharapkan berkembang menjadi 1650 orang serta diklat Tutor Inti ada penyempurnaan pada struktur materi dan lampiran" Pada pedoman sertifikasi, Drs. Nasruddin menyampaikan bahwa rintisan sertifikasi sambil mengupayakan payung hukum (permendiknas) dan perlu pengembangan sampai pada juknis dan juklaknya.Pada akhir penyampaian, Kasubdit Pendidik PNF menyampaikan kesimpulan/pembulatan kegiatan pembahasan pedoman peningkatan mutu Pendidik PNF, yaitu 1. Harmonisasi dengan instansi terkait (Ditjen PNFI, BSNP, BAN-PT, LPTK, Asosiasi dll; 2. Pengembangan peningkatan kompetensi ke arah peningkatan kualifikasi, (program konversi/RPL) 3. Proses implementasi pedoman di lapangan (sosialisasi dan sinkronisasi); 4. Pengembangan capaian kegiatan penyusunan pedoman (capaian maksimal) 5. Pemanfaatan berbagai momen kegiatan dalam rangka penyempurnaan & pengembangan pedoman peningkatan mutu Pendidik PNF; 6. Kegiatan lanjutan penyusunan pedoman peningkatan mutu Pendidik PNF.Pedoman ini dari kita (PTK-PNF) dan untuk kita bersama (ika).
Sumber : http://www.jugaguru.com/news/43/tahun/2009/bulan/03/tanggal/04/id/902/

Guru Non Formal 'Ditirikan'

Jurnalnet.com (Jakarta): RPP Guru Non Formal Mendesak Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Yang Masih Jadi Anak Tiri. GURU non formal nasibnya bak anak tiri dalam khasanah pendidikan nasional. Padahal, pendidik ini amat berjasa dalam membantu pemerintah menyukseskan pendidikan nasional. Khususnya, bagi kalangan yang memiliki berbagai kendala dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah formal.


Tanpa memiliki pengabdian yang berupa panggilan jiwa untuk ikut sera mencerdaskan kehidupan anak bangsa ini, khususnya kalangan bawah ini pendidik non formal yang jamak disebut tutor ini akan sulit untuk bertahan.

Bayangkan hanya dengan honor Rp108.000 per bulan, seperti yang.diterima oleh Ayu, tutor bahasa Indonesia di Kabupaten Ende ini bagaimana bisa bertahan hidup. Itu pun, diterima oleh sarjana S-1 tiga bulan sekali. Namun, gadis berjilbab asli Ende, NTT ini mengatakan menjadi pendidik adalah panggilan jiwa. Banyak teman saya pindah profesi, karena persoalan kebutuhan hidup, ujar nona berusia 26 tahun ini.

Muslimah yang rajin puasa Senin-Kamis ini untuk menambah penghasilannya menjadi guru honor di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Kota Ende. Itu pun hanya Rp200.000 sebulan.

Berbeda dengan Ayu, tutor bahasa Inggris Sylvester yang mengajar tiga kelas di Kabupaten Manggarai lebih beruntung. Meskipun, masih dibayar tiga bulan sekali, honornya Rp150.000 per bulan, Sedangkan, tenaga lapangan Diknas (TLD) Agustina Prima yang bertugas di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat memeroleh honor Rp700.000 sebulan. Sebagai tenaga lapangan pekerjaannya serabutan. Pokoknya mengisi apa saja yang kurang dalam proses pembelajaran pendidikan non formal di pulau wisata hewan langka tersebut. Ya itu program paket, anak usia dini, maupun keaksaraan, ujar wanita yang namanya sudah masuk data base di Balai Kepegawaian Daerah (BKD) untuk sejak 2005.

Itulah potret guru non formal. Potret buram ini agaknya tidak terlalu jauh berbeda di sejumlah daerah di NTT. Bahkan, juga gambaran kekumuhan guru non formal di seluruh Indonesia nyaris sama saja.

Sumber :
(http://ng.republika.co.id/berita/132/Guru_Non_Formal_Ditirikan)

Hebat!! 33 Universitas Indonesia Masuk 5000 Besar Dunia

Sebanyak 33 perguruan tinggi negeri dan swasta Indonesia masuk kelompok 5.000 PT terbaik dunia berdasarkan pemeringkatan yang dilakukan Webometrics yang berkantor pusat di Madrid, Spanyol.


Berdasarkan hasil pemeringkatan yang dikeluarkan Januari 2009 pada situs www.webometrics.info kemarin, tiga perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka menempati posisi teratas untuk lingkup Indonesia, yakni UGM, ITB, dan Universitas Indonesia (UI). UGM berada di posisi ke-623 disusul ITB di urutan 676, kemudian UI di posisi 906.

Perguruan tinggi swasta (PTS) Universitas Gunadarma Jakarta berada di posisi ke-4 secara nasional dengan peringkat Webometrics di urutan 1.604. Capaian Gunadarma ini cukup mengejutkan karena posisinya jauh melampaui capaian PTN terkemuka seperti IPB yang berada di urutan 2.063, ITS (1.762), Universitas Brawijaya (2.152), dan Universitas Airlangga (2.672), yang selama ini dianggap sebagai PT papan atas.

Sumber :
(http://kang-adek.blogspot.com/2009/03/hebat-33-universitas-indonesia-masuk.html)

Hanya Lima PTN yang Raih Akreditasi A


Bandung, Kompas - Kesiapan perguruan tinggi untuk membangun sistem penjaminan mutunya dinilai masih sangat minim. Dari 55 perguruan tinggi yang mengikuti akreditasi institusi tahap I, hanya lima di antaranya yang telah meraih nilai sangat baik atau A.

Kelima perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Menurut Sekretaris Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Adil Basuki Ahza, Rabu (3/12), di Bandung, tidak ada kaitan perolehan nilai A ini dengan reputasi internasional yang kebetulan dimiliki kelima perguruan tinggi negeri (PTN) ini.

”Tidak berkaitan dengan status kelas dunia. Tapi, secara faktual, kita tidak bisa membohongi diri kalau kelima perguruan tinggi ini punya kualitas lebih,” ungkap Basuki Ahza.

Ia melihat, ketidaksanggupan perguruan tinggi lain meraih nilai A lebih karena faktor ketidaksiapan diri. Serta, belum membangun sistem penjaminan mutu yang memadai.

Belum berani dinilai

Tahun 2008 ini, bahkan masih banyak perguruan tinggi yang belum berani dinilai. Dari kuota 50 perguruan tinggi yang dinilai, hanya 30 di antaranya yang terisi. Dan, hanya 25 yang lolos untuk dilakukan site visit (visitasi asesor). Visitasi dilakukan Desember ini. Untuk itu, Badan Akreditasi Nasional (BAN PT) berancang- ancang menghentikan sementara proses akreditasi ini di tahun depan.

Padahal, ia mengatakan, setiap program studi maupun perguruan tinggi negeri wajib untuk mengikuti akreditasi. ”Mereka (perguruan tinggi) lupa bahwa perguruan tinggi bisa kena pidana jika tidak segera memiliki akreditasi. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, jika perguruan tinggi tidak terakreditasi, maka perguruan tinggi tersebut tidak boleh meluluskan mahasiswa,” ujarnya.

Menurutnya, ketentuan ini akan efektif berlaku selambat- lambatnya tahun 2012 mendatang.

Di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, ucapnya, bahkan disebutkan, hanya perguruan tinggi berakreditasi minimal B yang bisa meluluskan mahasiswa.

”Lulusan bisa menuntut penyelenggara program studi, dekan, atau rektor apabila klaim tentang akreditasi tidak betul dan mereka tidak bisa lulus,” kata Basuki Ahza.

Meski demikian, perguruan tinggi diperbolehkan mengajukan ulang penilaian setelah dua tahun pengajuan pertama, asalkan ada jaminan perbaikan.

Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Sunaryo Kartadinata mengakui, hasil akreditasi institusi sangatlah bergantung faktor kesiapan tiap perguruan tinggi. Namun, ia melihat, akreditasi institusi ini tidak lebih penting daripada akreditasi yang ada di tiap-tiap program studi. Sebab, ujung tombak akademik justru ada di program studi.

UPI saat ini memperoleh akreditasi B meski kampus ini sekarang memiliki aset gedung mewah bernilai sekitar Rp 500 miliar.

sumber : http://www.dikti.go.id

PTN Galang Dana untuk Beasiswa Dosen Patungan Membantu Mahasiswa Miskin

Sabtu, 7 Maret 2009

JAKARTA, JUMAT — Sejumlah perguruan tinggi negeri menggalang sumber dana untuk beasiswa bagi mahasiswa miskin. Sumber dana tidak hanya mengandalkan perusahaan dan yayasan yang kerap mengucurkan dana beasiswa, tetapi juga dengan memanfaatkan sumber internal di dalam kampus, seperti patungan atau iuran dari para dosen.

Di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), misalnya, sumber dana beasiswa bagi mahasiswa miskin juga digalang dari para pegawai dan dosen secara sukarela setiap bulannya.

”Sumbangan dana solidaritas pendidikan ini diutamakan untuk memberi beasiswa kepada anak pegawai atau dosen serta mahasiswa miskin di UNY. Dengan cara ini bisa membantu minimal dua mahasiswa dari tiap program studi,” kata Rochmad Wahab, Pejabat Rektor UNY, Jumat (6/3).

Menurut Rochmad, pada tahun ini penerimaan mahasiswa baru UNY lewat jalur seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNMPTN) juga ditambah hingga mencapai 75 persen dari kuota, meningkat 35 persen dari tahun lalu.

”Selain untuk mempermudah pendaftaran dengan jalur yang semakin sederhana, hal ini dilakukan untuk memperbesar akses lulusan SMA yang ingin mendaftar dari seluruh Nusantara dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan jalur mandiri,” ujar Rochmad.

Pembantu Rektor III UNY Herminarto Sofyan mengatakan, sebagian besar beasiswa di UNY berasal dari pemerintah dan perusahaan yang membutuhkan lulusan UNY. Nilai dana beasiswa yang terkumpul mencapai Rp 6,9 miliar yang diberikan kepada 3.656 mahasiswa. Jumlah ini baru sekitar 15 persen dari total mahasiswa.

Dari alumni

Di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, selain dari berbagai lembaga, beasiswa pendidikan juga bersumber dari Ikatan Keluarga Alumni ITS dan Ikatan Orang Tua Mahasiswa. Totalnya mencapai Rp 9 miliar. ”Sebagian berstatus beasiswa ikatan dinas,” kata Rektor ITS Priyo Suprobo.

Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, menyediakan beasiswa bagi 6.500 mahasiswa tak mampu atau sekitar 25 persen dari total mahasiswa di kampus itu. Dana beasiswa yang terdiri atas 32 jenis dari pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan itu mencapai Rp 14,84 miliar pada tahun ini.

M Dahlan Abubakar, Humas Unhas, menjelaskan, pola pemberian beasiswa tidak dalam bentuk pembebasan SPP, melainkan pemberian bantuan biaya penunjang kebutuhan studi hingga mahasiswa yang bersangkutan tamat. Besaran beasiswa bervariasi dari Rp 250.000 hingga Rp 1 juta per bulan bergantung pada jenis dan program studi.

Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki 50 penyandang dana untuk menyediakan beasiswa bagi sekitar 7.700 mahasiswa. Nilainya mencapai Rp 17 miliar. Sentot Haryanto, Direktur Kemahasiswaan UGM, mengatakan, kampus tersebut sudah bisa memenuhi amanah UU BHP yang mewajibkan alokasi 20 persen beasiswa pendidikan bagi mahasiswa tak mampu. (ELN/NAR/IRE/WKM/RAZ)

Sumber : Kompas Cetak

Sumber: Kompas.Com
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/03/07/ 06315530/PTN.Galang.Dana.untuk.Beasiswa

Kebocoran Devisa Negara di Sektor Pendidikan Tinggi

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk R&D (Research and Development) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Saat ini memasuki perguruan tinggi berarti membeli jasa pendidikan tinggi. Keputusan memilih sebuah Perguruan Tinggi merupakan suatu keputusan investasi. Investasi itu harus menguntungkan konsumen setelah dinyatakan lulus oleh Perguruan Tinggi. Karena selain membutuhkan dana yang besar, kuliah di perguruan tinggi juga menghabiskan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, konsumen pendidikan tinggi harus memiliki strategi memilih suatu Perguruan Tinggi yang baik dan berkualitas.

Mengapa saat ini, banyak orang yang ingin KULIAH ke luar negeri ? Dua penyebab utamanya adalah perusahaan-perusahaan di seluruh dunia semakin menyadari bahwa pendidikan internasional makin penting di perekonomian global, dan globalisasi karir juga memaksa masyarakat mengambil kualifikasi internasional agar tidak ketinggalan. Saat ini kuliah ke luar negeri menjadi pilihan, baik untuk program S1 maupun jenjang studi yang lebih tinggi. Beberapa negara menawarkan program bantuan atau beasiswa pendidikan ke luar negeri. Setelah Lulus SMU mau ke mana ?. Bagi yang ingin meneruskan kuliah, salah satu alternatif adalah menimba ilmu di luar negeri.

Ketakutan tentang biaya kuliah yang mahal tidak lagi jadi satu alasan untuk melirik peluang ke sana. Hal ini diungkapkan oleh Rendy Djauhari, PR & Marketing Coordinator Nederlands Education Centre (NEC). "Segi harga cukup kompetitif dengan negara lain bahkan dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) maupun Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia".

Selama ini, pemerintah Indonesia tampaknya menyia-nyiakan dana pendidikan menguap ke luar negeri yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Yang menguap ini adalah biaya studi anak bangsa ke luar negeri. Padahal, dana itu tidak akan pergi, jika pemerintah menerapkan kebijakan transfer kredit. Mengutip pernyataan Sudino Lim, CEO INTI COLLEGE INDONESIA, bahwa setidaknya hampir 18 ribu mahasiswa Indonesia yang studi ke Australia, setiap tahunnya. Di Negeri Kangguru tersebut, untuk menempuh gelar S1 butuh waktu minimal 3,5 tahun. Biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 800 juta. Jika ditotal, biaya tersebut sudah mencapai triliunan rupiah. Semuanya masuk ke devisa Australia. Itu baru biaya pendidikannya, belum lagi apabila mahasiswa tersebut mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal atau beli apartemen, pariwisata, jalan-jalan dan biaya makan serta biaya hidup lainnya di sana. Ternyata biaya mahasiswa Indonesia yang belajar disana telah menyumbangkan 10 persen dari APBN Australia.

Oleh: Tata Sutabri S.Kom, MM

Sumber: e-dukasi.net