Kamis, 26 Februari 2009

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Jakarta,
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131. (rhu)

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0412/21/nas04.html




Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah

Kategori: Umum (281 kali dibaca)

Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.

Anggaran ditingkatkan

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.

Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.(JON)
(uchie)

sumber : http://www.jugaguru.com/news/31/tahun/2006/bulan/11/tanggal/20/id/242/

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.(*)

sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/12/16/baru-64000-anak-cacat-mendapat-pendidikan-khusus/

Soal Penyusunan RPP Pendidikan Keagamaan

 
SUARA PEMBARUAN DAILY
 
Soal Penyusunan RPP Pendidikan Keagamaan
Negara Jangan Belenggu Pengelolaan Pendidikan Keagamaan
 
JAKARTA - Departemen Agama dan Depdiknas yang saat ini tengah menggodok
Rancangan Peraturan Pemerintah Pendidikan Keagamaan (RPP Pendidikan
Keagamaan) yang senapas dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) hendaknya arif dan bijaksana dalam
menempatkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Indonesia.
"Masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren dalam UU Sisdiknas
hendaknya tidak dijadikan komoditas bagi pemerintahan untuk mengatur
penyelenggaraan dan pengelolaannya," ujar pakar pendidikan Dr Muhamad Ridwan
kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (13/2) .
Sementara itu, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Fuad Fanani, melihat
hegemoni negara kembali tercermin dalam RPP Pendidikan Keagamaan. "RPP itu
hampir sama dengan UU Sisdiknas dan RUU Kerukunan Umat Beragama. Betapa
kentalnya intervensi negara dalam kehidupan publik. Padahal, negara
seharusnya menumbuhkan kesadaran kritis bukan membelenggu," ujarnya.
Dikatakan, Depag dan Depdiknas harus mampu melakukan dialog dengan semua
komponen, sehingga produk PP tidak lagi mendapat perlawanan dan resistensi
begitu besar di tengah masyarakat seperti UU Sisdiknas. "Teman-teman JIMM
siap bergabung dengan komponen lainnya menentang setiap bentuk hegemoni
negara kepada masyarakat," katanya.
Menurut Muhamad Ridwan, di samping menempel dalam pasal-pasal tentang
jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut madrasah dan pesantren
tercantum dalam satu pasal khusus, diatur oleh Departemen Agama, hendaknya
hal ini tidak diimplementasikan mengatur secara administratif oleh negara.
Dalam naskah UU Sisdiknas, pendidikan keagamaan diatur pada pasal 26 yang
secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu,
dimasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam
pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan.
"Peraturan Pemerintah tersebut berlaku untuk semua warga negara tanpa
membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan
secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama
tertentu. Jangan sampai terkesan negara membelenggu pendidikan keagamaan.
Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama
tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas
yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan
semua," ujarnya.
Ditegaskan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah cukup mengakomodasikan pendidikan
keagamaan sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik,
menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama
tertentu menjadi tidak perlu. Namun, dalam RPP sebaiknya Depag dan Depdiknas
tidak lagi mengatur secara khusus sehingga membuat pesantren atau sekolah
pendidikan keagamaan merasa terkooptasi oleh negara.
Dijelaskan, sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar
kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur
pendidikan sekolah. Sebelum UU No 2 Tahun 1989 dan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang
pendidikan terendah sebagai sekolah dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya
sekolah menengah pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan.
Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2 tahun 1989 dan Wajar Dikdas
diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah
kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan
bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan
berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama
SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya, nama yang
tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas
kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.
Anehnya, dalam naskah UU Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD),
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat
(pasal 17 ayat 2), kemudian Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang
sederajat dan 'Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
terdiri atas tiga tingkat' (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal
20 ayat 3 disebutkan bahwa 'Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)', dan pada ayat 4 'Pendidikan
menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)'. (E-5)

sumber: http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Soal-Penyusunan-RPP-Pendidikan-Keagamaan

Kontradiksi Pendidikan Tinggi

Pasca didengungkannya konsep BHMN pada Perguruan Tinggi (PT) di beberapa PTN, pendidikan kian dihakimi masyarakat sebagai alat diskriminasi bangsa. Kenyataanya memang demikian. Tengoklah besaran tunggakan mahasiswa UNPAD yang mencapai 15 Milyar rupiah yang penyebabnya disinyalir akibat faktor ekonomi sehingga tak mampu membayar iuran pendidikan.

Fakta ini sedikit memberikan gambaran umum kondisi mahasiswa di pelbagai PT di Indonesia. Kondisi makro-ekonomi yang kian tidak bersahabat kian merajam kalangan menengah bawah dalam mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini diperparah oleh pengurangan subsidi pemerintah pada pembiayaan pendidikan tinggi hingga birokrat kampus tak kuasa untuk menjadikan mahasiswa sebagai sumber utama pembiayaan PT.

Realitas ini kontradiktif dengan filosofis pendidikan itu sendiri. Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial Budaya (EKOSOB) tahun 1996, hak mengenyam pendidikan adalah hak paling mendasar yang harus dienyam oleh manusia. Dalam konteks ini, negara mutlak mengusahakannya.

Realitas pendidikan tinggi yang kian diskriminatif seakan menenggelamkan asa pedagogis kaum marginal. Mereka kian sulit untuk mengenyam pendidikan tinggi di PT berkualitas. Tengoklah komposisi mahasiswa UI saat ini yang disinyalir 90 persen-nya adalah mahasiswa dari Jabodetabek yang borju. Dengan realitas yang demikian, konsep education for all seolah menjauh dari ekspektasi semula.

Kaum “Minority Negasive”

Berdasarkan rapid assessment yang dilakukan secara keroyokan oleh Depdiknas, Bappenas dan World Bank menunjukkan hasil bahwa pada tahun 2015 hanya sekitar 25 persen masyarakat kita yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Dari hasil ini setidaknya untuk beberapa tahun ke depan mahasiswa tetaplah kaum minoritas di negeri ini.

Sebagai minoritas, eksistensi mahasiswa justru menjadi penting dalam pergerakan bangsa ini. Tingkat intelektualitas yang tinggi dan semangat idealisme yang masih berkobar menjadi tumpuan masyarakat untuk menabuh genderang perubahan di negeri ini. Tak heran dalam beberapa penggalan sejarah, mahasiswa menjadi garda paling depan dalam melakukan revolusi rakyat. Dengan demikian, walaupun minoritas, mahasiswa kerap menegasikan diri dengan kemunafikan kaum mayoritas.

Dalam hal ini fungsi pendidikan sebagai the most powerfull things yang didengungkan Gayatri Spivak seolah mendapat pembuktian. Eksistensi mahasiswa adalah eksistensi kaum terdidik yang mampu menjadi penyeimbang kekuasaan dalam konteks kontrol sosial. Maka begitu vital peran mahasiswa dalam menjaga kuasa dari rongrongan absolutisme.

Kini, peran yang vital tersebut teancam tercerabut dari habitatnya akibat biaya perkuliahan dan beban hidup begitu hebat mendera sebagian besar mahasiswa di negeri ini. Disadari atau tidak, realitas ini kian menjauhkan mahasiswa dari fungsi sosial yang harus diembannya. Kini, mahasiswa justru banyak yang berjuang dalam aras berfikir pragmatis-individualistik demi menyelematkan hidupnya secara personal.

“Dipaksa” Menjadi Buruh

Diakui atau tidak, realitas pendidikan tinggi yang memberatkan ini membuat mahasiswa berusaha dalam ragam cara untuk menyiasatinya. Banyak yang lari untuk bekerja part-time atau berwirausaha secara mandiri. Pada satu sisi hal ini patut dibanggakan karena membuktikan kemandirian kita sebagai penggerak zaman.

Namun, pada sisi lain, realitas ini justru kerap membuat kita menjadi pragmatis. Kita menjadi tegoda hanya untuk memikirkan materi dan materi. Kuliah bahkan terbengkalai apalagi tanggungjawab kepada masyarakat. Kecenderungan seperti ini terbaca oleh Dudley Erskine Devline dari Colorado State University (1980). Dalam artikelnya berjudul “Bussiness and Education in America”, ia menyatakan bahwa mahasiswa-pekerja memiliki kecenderungan untuk terkosentrasi memikirkan uang. Parahnya, uang tersebut seringkali tidak dipakai untuk hal yang tidak semestinya, taruhlah untuk membeli kosmetik atau hura-hura.

Dengan demikian, tingginya biaya pendidikan tinggi di negeri ini setidaknya menimbulkan efek dalam 2 hal. Pertama, mengikis kesempatan kaum marginal dalam mengeyam pendidikan. Kedua, menumbuhkan sikap pragmatis-individualistik mahasiswa. Pendidikan pun kontradiktif dari tujuannya yaitu mencetak manusia yang tinggi secara intelektual dan juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi atas nasib bangsanya.

Suatu kerugian besar jika ini terjadi kelak. Sampai para penentu kebijakan pendidikan tinggi sadar untuk melakukan reka ulang atas konsep PT beserta mekanisme pembiayaan pendidikan tinggi itu sendiri.


sumber: http://kolumnis.com/2008/03/02/kontradiksi-pendidikan-tinggi/

REDIP sebagai Model untuk Meningkatkan Pendidikan Menengah Pertama

Jakarta, Selasa (8 Juli 2008) — Program Pengembangan dan Peningkatan Pendidikan Daerah atau Regional Education Development and Improvement Program (REDIP) dapat dijadikan model untuk meningkatkan pendidikan menengah pertama. REDIP adalah program sederhana, tetapi komprehensif yang memungkinkan sekolah dan kecamatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan aspirasi dan prioritas mereka sendiri. Meskipun sederhana, program ini dapat meningkatkan akses, mutu, dan manajemen secara bersamaan.

Program REDIP ini memberikan dana bantuan kepada sekolah dan tim pengembangan pendidikan kecamatan (TPK) sesuai proposal yang diajukan. Sekolah dan TPK bebas mengusulkan kegiatan apa saja sesuai kebutuhan dan prioritas mereka sendiri. Dengan menggunakan dana bantuan, sekolah dan TPK melaksanakan kegiatan yang diusulkan.

Sesudah menyelesaikan kegiatan, sekolah menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan lalu menyerahkannya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diperiksa. REDIP mendorong mengambil inisiatif dan mempertanggungjawabkan usaha sekolah sendiri dalam meningkatkan pendidikan dan berfungsi sebagai pengamat pasif.

Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Sekolah Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kasubdit Kelembagaan Sekolah Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen) Depdiknas Yenni Rusnayani mengatakan, sejak 2005 Depdiknas telah mengadopsi program ini dengan bantuan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Program ini sampai 2008 telah dikembangkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi mencakup 32 kecamatan dari sebanyak 391 SMP negeri dan swasta.

Yenni mengatakan, program REDIP, yang kemudian diubah menjadi program pengembangan SMP berbasis masyarakat (PSBM) sangat cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan melalui prinsip bottom-up, desentralisasi penyelenggaraan, dan partisipasi masyarakat. “Program PSBM memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh kepala sekolah dan juga memberikan dampak untuk peningkatan mutu pembelajaran,” katanya pada REDIP Workshop dan Expo di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (8/07/2008).

Kepala Seksi Perencanaan Subdit Program Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen Depdiknas Supriano mengatakan, hasil yang dicapai melalui program ini adalah terjadinya perubahan pada sekolah, kecamatan, dan masyarakat. Dia mencontohkan, manajemen di sekolah menjadi demokratis dan transparan, pihak kecamatan yang semakin proaktif kepada pendidikan, dan masyarakat lebih peduli terhadap pendidikan. “Orang tua mendukung apa yang dikembangkan oleh sekolah. Semua kegiatan di sekolah selalu dikomunikasikan dan pengembangan sekolah dibicarakan dengan orang tua murid,” katanya.

Dia menyebutkan, program REDIP Government (REDIP G) yang didanai 100 persen APBN sampai 2008 sudah mengalokasikan anggaran hampir Rp.45 milyar untuk tiga kabupaten yakni Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain REDIP G, kata dia, juga ada program REDIP Mandiri yang didanai oleh APBD, REDIP Pengembangan, dan REDIP Perluasan Pelaksanaan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Munthoha Nasuha mengatakan, implementasi program REDIP sejak 1999 dimulai dari dua kecamatan, kemudian berkembang menjadi sepuluh kecamatan, dan seluruhnya sebanyak 17 kecamatan. “Awalnya program difokuskan pada bidang manajemen sekolah dengan pola transparansi, sehingga semua rencana anggaran dipaparkan di papan dan di pintu masuk sekolah,” katanya.

Konsultan Nasional REDIP Winarno Surachmad, mengatakan, karakteristik Program REDIP adalah mudah, murah, tanpa resiko, dan low tech. “REDIP menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan pendidikan di daerah berdasarkan kekuatan dari bawah, tanpa duit, dan tanpa ahli,” katanya.

Ketua Tim REDIP-JICA Norimichi Toyomane mengatakan, indikator yang memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil yakni, meningkatnya nilai Ujian Nasional, meningkatnya motivasi siswa untuk sekolah, meningkatnya motivasi guru dalam proses belajar mengajar dan juga motivasi dari kepala sekolah dalam memanajemen sekolahnya.

sumber : http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/PeMen11.asp

Program Akselerasi Pendidikan Dasar

Wacana akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat menengah pernah menjadi wacana fenomenal dalam dunia pendidikan. Hampir berbagai media massa dari tingkat lokal sampai nasional pernah mempublikasikan tentang wacana tersebut. Berbagai argumentasi pro dan kontra seputar wacana akselerasi pendidikan pernah menghiasi hampir berbagai media baik cetak maupun elektronik.

Ada apa sebetulnya dengan akselerasi pendidikan? Akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah merupakan suatu kebijakan yang dikeluarkan Depdiknas, yang tertuang dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Kepmendikbud nomor 0487/U/1992 untuk Sekolah Dasar.
Esensi dari program akselerasi pendidikan adalah memberikan pelayanan kepada siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa untuk mengikuti percepatan dalam menempuh pendidikannya. Untuk tingkat pendidikan dasar, siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menempuh pendidikannya selama 5 tahun, sedangkan untuk tingkat menengah SLTP dan SLTU siswa dapat menempuh pendidikannya selama 2 tahun.

Secara konseptual, program akselerasi ini cukup bagus relevansinya dalam pengembangan bakat dan kecerdasan anak, yaitu memberikan perhatian yang lebih kepada anak didik yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan yang luar biasa, sehingga mereka bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya secara luas. Tetapi secara praksis, program akselerasi memiliki kelemahan yang sangat signifikan. Pada tataran praksisnya, akselerasi cenderung berorientasi pada tingkatan kognisi saja.
Untuk di tingkat pendidikan menengah, implementasi program akselerasi ini mungkin tidak begitu bermasalah, karena sudah sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak. Tetapi sebaliknya, untuk di tingkat pendidikan dasar, implementasi program akselerasi masih perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Anak-anak yang berada di tingkat pendidikan dasar masih identik dengan dunianya, yaitu dunia bermain. Dus, belum saatnya anak dipaksakan untuk berpikir seperti halnya orang dewasa.

Bloom mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembang-kan tiga kemampuan dasar, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut merupakan sebuah entitas integral yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan berdiri sendiri. Antara aspek yang satu dengan aspek lainnya saling berkaitan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan hanya akan dapat tercapai manakala ketiga aspek tersebut dapat diaplikasikan oleh guru secara seimbang dalam proses belajar mengajar.

Berkaitan dengan program akselerasi, mau tidak mau anak didik kita dipacu untuk terus mengejar "nilai". Agar anak didik dapat mendapatkan nilai yang "baik", guru dituntut untuk dapat menyampaikan materinya pada anak didik dengan metode yang tepat dan singkat. Itupun ditambah dengan adanya pelajaran tambahan yang diharapkan dapat membantu anak didik agar nilainya tetap stabil di samping dapat mengejar materi pelajaran agar tidak tertinggal.
Realitas ini mengindikasikan bahwa akselerasi hanya berkutat pada tataran kognisi. Sehingga dalam konteks ini, anak didik yang tingkat kognisinya lemah akan tertinggal, sebaliknya anak didik yang tingkat kognisinya kuat akan melaju terus. Akselerasi tidak bisa melihat "prestasi" anak didik yang sebenarnya, karena prestasi yang sudah ada didapat melalui suatu "perampasan" terhadap hak-hak anak didik.

Fenomena sosial yang muncul di dalam sekolah penyelenggara program akselerasi adalah padatnya jam belajar anak didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Semua itu bermuara pada "perampasan" hak-hak anak didik dalam kehidupannya. Anak didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini pada akhirnya berakibat pada teralienasinya dan termarjinalkannya anak didik dari lingkungannya.
Anak didik tidak memiliki kesempatan untuk belajar dengan dunianya atau dengan lingkungannya tentang, bagaimana menghargai orang lain, berempati terhadap orang lain, mengendalikan nafsu dan lain sebagainya, yang semuanya berkaitan dengan masalah emosionalnya. Padahal semua yang berkaitan dengan masalah emosional sangat penting sekali bagi seseorang apabila ia ingin berhasil. Aspek kemampuan kognisi saja tidak cukup bagi seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya.

Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh aspek kecerdasan kognisi saja, tetapi aspek kecerdasan emosional memegang peranan yang sangat penting. Menurutnya intelektualitas tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa disertai dengan kecerdasan emosional.
Antara kecerdasan kognisi dan kecerdasan emosional merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dalam membentuk keberhasilan seseorang. Akan tetapi, ketika aspek kognisi lebih dominan dalam praksisnya, maka pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita relevansinya dengan program akselerasi adalah mau dibawa kemana anak-anak kita yang berada di tingkat pendidikan dasar?
Pertanyaan ini patut kita cermati dan renungi, bagaimanapun juga akselerasi tidak membuat anak didik memiliki prestasi yang matang sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak, sebaliknya akselerasi telah melahirkan sebuah fenomena baru dalam dunia pendidikan kita, yaitu lahirnya prematurisme pendidikan. Lebih tragis lagi, ungkap Suyanto, model pendidikan "karbitan" seperti akselerasi sebenarnya akan menuai limbah pendidikan yang pada hakikatnya sungguh amat kontraproduktif dan bahkan juga kontraedukasi.

sumber : http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/Pendas10.asp

semua tentang aku.

aku, Revita Renda Irawan.

biasa di panggil rere oleh teman-temanku.
aku tumbuh dan besar di Jakarta, dan lahir pada tanggal 11 November 1989 di Rumah Sakit Marinir cilandak. sekarang aku tinggal bersama kedua orang tuaku dan kakak perempuanku di daerah ciganjur.

Oia, aku pernah melewati masa-masa sekolahku di TK Al-Hidayah Cilandak, SdN 03 Pagi Cilandak, SMPN 107 Jakarta, dan SMAN 49 Jakarta.
hmmm, miss u all guys.
sekarang aku sudah kuliah di perguruan tinggi, UNJ (Universitas Negeri Jakarta) tingkat 2, semester 4.

Dulu waktu kecil, aku bercita-cita menjadi insinyur. Walaupun aku ga tau insinyur itu apa dan kerjanya apa, tap iaku begitu tertarik karena kedengarannya keren.hehe
tapi sekarang, mungkin cita-citaku dulu hanya tinggal kenangan. Karena aku sekarang mengambil jurusan pendidikan tata niaga, yang lebih condong untuk menjadi guru atau tenaga pendidik.

Awalnya, aku sama sekali ga tau tentang jurusanku. aku hanya mengambil peluang, agar aku dapat lolos SPMB, karena aku hanya diberi kesempatan sekali untuk mengikuti SPMB oleh orang tuaku. Jika aku tidak lolos, aku akan kuliah di perguruan tinggi swasta. Namun ternyata, Allah mengbulkan doa mamaku, yang sangat ingin sekali aku menjadi guru.
aku juga ikut bersyukur dan menjalani semuanya.

visi aku ialah menjadi guru yang kaya dunia dan akhirat.hehe mungkin kedengarannya terlalu muluk ya. Pokoknya aku ingin jadi guru yang sukses, yang bisa ngbanggain orangtuaku. Dan mudah-mudahan bisa membiayai orangtuaku naik haji.Amin!

misi aku ialah menjalankan aktivitas perkuliahan dengan sebaik-baiknya. Karena disitu adalah tempat belajar agar dapat merealisasikan visiku. saat ini aku juga mengajar les privat dirumah. Dan aku sudah berencana ingin mengajar di lembaga bimbingan belajar.

sekian tentang aku.
Doakan ya!
wassalam.