Selasa, 26 Mei 2009

Pendidikan Keagamaan di TPST Bantar Gebang Dikembangkan

Pendidikan Keagamaan di TPST Bantar Gebang Dikembangkan
BEKASI -- Kegiatan Keagamaan di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Rt 1/Rw 5 Kelurahan Ciketing Udik, Kecamatan Bantar Gebang akan dikembangkan dengan adanya pembangunan beberapa sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar agama, pelatihan keterampilan, dan sekolah.

"Rencananya akan ada pembangunan dan pengembangan sekolah, Taman Pendidikan Al Qur'an, kegiatan masjid dan pembangunan klinik di tengah-tengah komunitas masyarakat pemulung," kata Ahmad Khoidir Rohendi, Pengurus Cabang MKM Muhammadiyah, Jumat (1/5).

Menurut Hendi, selain kegiatan-kegiatan tersebut akan ada kegiatan pengembangan ekonomi, pendidikan anak, pendampingan dan penyelenggara pendidikan alternatif. Kegiatan belajar mengajar Al Quran di Masjid Al Muhajirin yang dulunya dikelola oleh PCM Rawamangun kemudian dilimpahkan kepengurusannya kepada PDM Bekasi dengan program MKKM Bekasi.

Sebelum ada kegiatan itu, di lingkungan TPST Bantar Gebang juga telah didirikan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang telah berdiri pada 2008 dari dana Dinas Pendidikan Kota Bekasi, dan beberapa Taman Kanak-Kanak Al Quran dan Ikatan Guru Taman Pendidikan Al Quran (IGTPQ) yang dikelola oleh Departemen Agama.

Hendi juga menjelaskan saat ini, di Masjid Al Muhajirin sudah ada kegiatan kajian remaja yaitu, Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dan Majelis Ta'lim yang telah terdaftar dan terprogram.

Selain itu juga Program Pemberdayaan Kompetisi Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM) yang kegiatannya, antara lain baca, tulis, hitung (calistung), pelatihan membuat kerajinan tangan dan kue, dan ukir-ukiran atas kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Bekasi dan Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI)."Rencananya akan dibangun juga klinik seluas 500 m2 dan Ponpes untuk semua kalangan di lingkungan tersebut," katanya.




Sumber:http://www.republika.co.idberita/47687Pendidikan_Keagamaan_di_TPST_Bantar_Gebang_Dikembangkan

TRANSLATE JURNAL PROFESI PENDIDIKAN

Perbedaan jenis kelamin pada anak berbakat dan Rata-rata Kemampuan Siswa

Membandingkan prestasi perempuan dan laki-laki , Konsep diri , minat, dan Motivasi pada Matematika
Abstrak: Artikel ini meneliti perbedaan kelamin pada 181 anak berbakat dan 181 rata-rata - kecerdasan keenam peneliti dalam prestasi, akademik konsep diri, minat, motivasi pada matematika. Anak yang tidak berbakat telah terkonsep sebagai sanggahan nonverbal kemampuan dan ditentukan oleh satu peringkat paling tidak 95% pada nonverbal reasoning subscale dari Jerman Cognitive. Prestasi matematika telah ditentukan dengan standar tertentu dari guru-penetapan nilai dan sebuah tes standarisasi matematika. Konsep diri, minat, dan motivasi telah ditentukan dari kuesioner. Dalam kecerdasan kedua kelompok, laki-laki menedapatkan nilai tes yang lebih tinggi, tetapi disana tidak ada perbedaan jenis kelamin. Perempuan memperoleh nilai yang lebih rendah pada akademik konsep diri, minat, dan motivasi. Perbedaan jenis kelamin lebih besar pada anak berbakat daripada dalam kecerdasann murid-murid. Perbedaan kecerdasan kelompok untuk konsep diri dan minat hanya membengun rasa suka untuk laki-laki pada anak berbakat. Hasil dari dugaan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam konsep diri, ninat, dan motivasi dalam matematika lebih umum pada anak berbakat daripada dalam rata-rata kecerdasan murid.
Disana ada banyak pepelajaran tentang perbedaan jenis kelamin dalam matematika dan tempat yang berhubungan dengan intelektual berbakat (e,g,. Gallagher & Kauffman, 2005; Heller & Ziegler, 1996; Lubinsky, Benbow, & Morenlock, 2000; see Ziegler, 2004). Bagaimanapun, karena disana banyak pendidikan yang harus diselidiki peserta program khusus untuk bakat penemuan yang tidak dapatmenjadi umum untuk kkelimpok lain pada murid berbakat. Pertama, murid-murid di program khusus sadar kemampuan mereka karena mereka memilih ke program ini. Kesadaran ini, pada gilirannya, mungkin berpengaruh pada akademik konsep diri dan motivasi. Selain itu, dalam sebagian besar masih ada studi, kesesuaian kelompok kurang terkontrol. Karena merupakan sebuah replikasi yang menemukan bahwa intelektual berbakat, rata-rata berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (SES, misalnya, Roznowski, Reith, & Hong, 2000), kurangnya kontrol kelompok SES k membuat sulit untuk menguraikan pengaruh SES. Pelajaran ini untuk menghindari keterbatasan siswa berbakat dan kontrol kelompok-baik diambil dari besar sampel yang tidak dipilh. Sampel terdiri dari bakat dan kontrol dari siswa reguler bercampur kelas besar sampel acak bertingkat.
Baru-baru ini penelitian tentang perbedaan kelamin dalam matematika menghasilkan paradoksal yang menemukan bahwa perempuan masih sering tidak sempurna pada persepsi mereka sendiri sebagai pembelajar matematika (Leder, 2004) meskipun fakta bahwa prestasi mereka meningkat di tahun-tahun sebelumnya. Ini juga benar untuk mencapai perempuan dan anak dengan potensi tinggi untuk prestasi matematika. Kebanyakan penelitian tentang perbedaan kelamin dalam intelektual yang berbakat, secara eksplisit atau implisit, yang bersangkutan dengan apa Enman dan Lupart (2000) sebut "siswa perempuan berbakat 'tahan ilmu "(hal. 161). Dalam masyarakat umum, lebih sedikit perempuan dibandingkan laki-laki yang memilih kursus akademis atau karir di matematika, ilmu yang anorganik, dan mesin. Hal ini juga berlaku untuk perempuan agar tingkat kemampuan ilmiahnya lebih tinggi. Penelitian lebih lanjut telah didokumentasikan bahwa perwakilan perempuan dalam bidang ini tumbuh dengan peningkatan kemampuan ilmiah (Zorman & David, 2000).
Satu penjelasan untuk perbedaan jender adalah kemampuan karena ada perbedaan yang lebih besar proporsi laki-laki daripada perempuan dengan kemampuan sangat tinggi dalam anorganik ilmu (Lubinski dkk., 2000; Lubinski & Humphreys, 1990; Stumpf & Stanley, 1998). Alternatif penjelasan konsep perbedaan kelamin dari perspektif yang menekankan pengaruh sosial (misalnya, sosialisasi praktik, peran jender) dan psikologis terkait faktor (e.g., nilai dan preferensi, kompetensi kepercayaan, minat). sebuah model populer untuk analisis pendidikan kejuruan dan pilihan dalam ilmu matematika-domain ilmu Eccles's (1983) model prestasi yang berhubungan dengan pilihan, yang juga telah diterapkan pada anak berbakat (Eccles & Harold, 1992). Ini merupakan Harapan nilai-model motivasi untuk keberhasilan hubungan pilihan yang penting: (a) harapan untuk keberhasilan dan kegagalan, yang terkena dampak oleh individu tertentu dari kepercayaan dan interpretasi dari kemampuan, tugas, dan peristiwa masa lalu dan (b) subyektif nilai tugas, yang dipengaruhi yang dipengaruhi oleh seseorang yang terpengaruh memori dari peristiwa masa lalu serta kepercayaan dan perilaku yang signifikan lain (lihat juga Pekrun, 1993). Secara khusus, persepsi orang tua pada kemampuan anak-anak mereka yang dianggap besar menentukan kompetensi kepercayaan dan nilai-nilai anak-anak (yakni, Eccles, 1993; Eccles & Jacobs, 1992). Menurut Eccles dan kolega, partisipasi perempuan lebih rendah dalam ilmu matematika-domain (program-program studi dan profesi tertentu) Hasil dari anak perempuan, dibandingkan dengan anak laki-laki ', penilaian lebih rendah dari kemampuan mereka dalam matematika dan ilmu pengetahuan dan dari anak perempuan tingkatnya lebih rendah dari nilai yang berpartisipasi dalam berhubungan Bidang (Eccles, Adler, & Meece, 1984).
Model lain yang menjelaskan perbedaan kelamin dalam bakat matematika dan ilmu pengetahuan telah dikembangkan oleh para peneliti yang berhubungan dengan Kajian matematis(Lubinski dkk., 2000) di Johns Hopkins University. Berdasarkan teori kerja penyesuaian (Dawis & Lofquist, 1984), pendekatan ini manekankan faktor yang terkait dengan pilihan pribadi termasuk preferensi dan nilai-nilai serta kemampuan perbedaan (keduanya memiliki beberapa alam dasar), bukan melihat budaya yang dikenakan hambatan internal dan eksternal sebagai penyebab utama perbedaan jender (Lubinski dkk., 2000). Penulis berpendapat bahwa pengaruh sosial sendiri tidak dapat bertanggung jawab karena perbedaan gender keuntungan pada laki-laki ditemukan hanya khusus untuk tugas matematika , sedangkan perempuan yang sama-sama baik atau bahkan lebih baik pada tugas-tugas matematika lainnya.


Perbedaan Jender di Matematika
Kemampuan matematis. Meta-analisis menunjukkan bahwa perbedaan gender dalam numerik dan argumentasi nonverbal, meramalkan kritik kompetensi matematika, minimal dalam sampel yang tidak dipilih (Hyde, Fennema, & Lamon, 1990). Dalam sampel normatif besar 5 ke-10 siswa kelas (Jäger dkk., 2006), perbedaan gender dalam numerik dan sanggahan nonverbal yang ditemukan dari peserta laki-laki, tetapi perbedaan ini dijelaskan tidak lebih dari 0,3% ke 1% yang berbeda dalam skor Intelligence Quotient (IQ). Namun, gambar muncul dalam sampel individu yang berbakat. perwakilannya laki-laki berbakat di kalangan matematis. Perbedaan jender ini dapat dideteksi pada usia yang sangat muda (Halpern, 2000) dan menjadi lebih jelas di tingkat pendidikan. Untuk bagian atas 5% dari 7 dan 8th-tingkat siswa dalam pencarian bakat, seorang laki-laki-untuk-perempuan rasio 13:1 telah dilaporkan (Benbow & Stanley, 1983). Di publikasi yang lebih baru, Brody, Barnett, dan Mills(1994) melaporkan rasio laki-laki ke perempuan 6:1.
Melihat kinerja perbedaan-biasanya dinilai dengan standar tes matematika meta-analitis penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perbedaan jender, kecil dan terus menurun dalam sampel yang diambil dari umum (Hyde et al., 1990; Leahey & Guo, 2001). Dalam studi meta-analitis, Hyde dkk. (1990) ditemukan sedikit kecenderungan usia mengandng arti perbedaan kinerja dari laki-laki yang mulai terjadi setelah sekolah dan yang paling tinggi di sekolah dan tingkat universitas. Namun, temuan itu tergantung pada jenis tugas: laki-laki mendapat nilai tinggi pada memecahkan masalah, perempuan dinilai lebih tinggi pada tugas aritmatika mental, dan tidak ada perbedaan jender untuk tugas komputer (Educational Testing Service, 1987; Hyde et al., 1990). Serupa untuk temuan yang dilaporkan bakat maematika pada siswa 12 - 13 tahun (Benbow & Lubinski, 1993).
Kecenderungan di Internasional Matematika dan Sains Belajar (secara resmi disebut Ketiga Matematika Internasional dan ilm belajar) menunjukkan bahwa perbedaan gender untuk tingkat kedelapan dalam matematika, antara tahun 1990 dan 2003,dinilai cukup kecil (TM Freeman, 2004) dan ditolak selama bertahun-tahun (Hanna, 2000). Namun, dalam 2003 dari siklus program untuk pelajar internasional, yang menyelidiki keaksaraan matematis pada siswa15 tahun, perbedaan gender dalam matematika dari laki-laki yang ditemukan di hampir seluruh negara-negara yang berpartisipasi (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pengembangan [OECD], 2004).
Untuk siswa sekolah, telah didokumentasikan bahwa perempuan, sepanjang karir sekolah mereka, penghasilan nilai yang lebih tinggi daripada laki-laki di sebagian besar program-program akademik, lanjutan termasuk matematika (J. Freeman, 2004; Halpern, 2000; Hosenfeld, Köller, & Baumert, 1999). Untuk bakat intelektual, hasil yang kurang konsisten. Beberapa studi yang nilai lebih tinggi didokumentasikan dalam matematika dan ilmu untuk laki-laki berbakat (Colangelo dkk., 1996), beberapa studi tidak ditemukan perbedaan jenis kelamin (untuk 10th kelas siswa: Schober, Reimann, & Wagner, 2004; Roznowski dkk., 2000), dan lain-lain menemukan bahwa laki-laki berbakat memiliki nilai rendah dalam matematika daripada perempuan yang berbakat(siswa antara usia 7 dan 18: J. Freeman, 2004; Lubinski & Benbow, 1992; 5.-ke-10. Siswa kelas: Jäger dkk., 2006). Dengan demikian, tidak ada temuan yang konsisten menyarankan laki-laki atau perempuan lebih memempin di matematika. Sebagian, temuan ini mungkin tidak konsisten untuk pelaksanaan perbedaan budaya dalam perencanaan administrasi, gaya dan isi dari kurikulum sekolah, dan praktek mengajar (J. Freeman, 2003, 2004).
Singkatnya, dalam masyarakat umum, perbedaan jender numerik dan sanggahan nonverbal, kritik yang cerdas sangat penting untuk pencapaian dalam matematika, serta perbedaan jender dalam kinerja matematika, termasuk guru sekolah yang ditugaskan-nilai. Usia kecenderungan kinerja laki-laki lebih baik dibandingkan dengan perempuan, dilaporkan oleh Hyde dkk. (1990) merujuk kepada tugas-tugas tertentu. Di banyak negara, laki-laki menunjukkan kinerja yang lebih baik dalam tugas-tugas panggilan untuk keaksaraan matematika. Untuk bakat, ada perwakilan laki-laki di dalam kelompok yang diidentifikasi sebagai sangat berbakat. Namun, perbedaan ditemukan untuk laki-laki ke perempuan pada rasio kemampuan tingkat tinggi tidak dapat hanya menjelaskan mengapa perempuan menghindari karir di anorganik ilmu seperti itu. Selain itu, bahkan perempuan yang menunjukkan kemampuan ilmiah yang luar biasa yang memasuki ilmu matematika lebih jarang dari mereka adalah laki-laki (Kerr & Robinson Kurpius, 2004; Lubinski & Benbow, 1992). Dengan demikian, perbedaan gender dalam karir pilihan sulit dijelaskan hanya oleh perbedaan kemampuan.
Pada bagian berikut, kami menjelaskan temuan untuk perbedaan gender dalam matematika yang berhubungan dengan kompetensi kepercayaan, minat, dan variabel motivasi (misalnya, tujuan orientasi). Pertama kita laporkan hasil untuk sampel yang tidak dipilh setiap konsep. Kemudian kita laporkan hasil yang ditemukan untuk siswa berbakat intelektual.
Kompetensi kepercayaan dalam matematika. Perbedaan gender dalam akademik konsep diri matematika adalah konsisten dengan peran tradisional jender dan harapan stereotip, menunjukkan nilai yang lebih tinggi dalam konsep diri matematika untuk laki-laki (e.g., untuk siswa SD: Eccles, Wigfield, Harold, & Blumenfeld, 1993; Marsh & Yeung, 1997; lihat juga meta-analisa oleh Wilgenbusch& Merrill, 1999) serta nilai yang lebih tinggi dalam matematika untuk laki-laki (e.g., Pajares & Miller, 1994; selama 15 -- tahun siswa: OECD, 2004; Pekrun & Zirngibl, 2004). Perbedaan gender dalam matematika yang berhubungan dengan kompetensi kepercayaan dari anak laki-laki telah didokumentasikan sebagai awal kelas pertama (Eccles dkk., 1993; Wigfield dkk., 1997) dan telah ditemukan menjadi relatif lebih stabil di sekolah (Marsh, 1993). Perempuan, lebih sering daripada anak laki-laki, mereka harus bekerja keras untuk mencapai baik hasil dalam matematika (Lupart, Cannon, & Telfer, 2004) dan menunjukkan kurang kepercayaan diri dalam kemampuan matematika (siswa pada tahapan pendidikan menengah: Baumert, Bos, & Lehmann, 2000).
Pada PISA 2003 penilaian dari siswa 15 tahun di OECD, efek antara ukuran dan ,14 ,72 Dilaporkan perbedaan gender dalam akademik konsep diri matematika, dalam kesukaan anak laki-laki (Pekrun & Zirngibl, 2004). Persepsi diri yang lebih tinggi dalam kemampuan matematika di anak laki-laki ditemukan menjadi relatif mandiri dari sejarah kinerja (e.g., Frome & Eccles, 1998), tingkat pencapaian, dan kemampuan (siswa kelas 12 dan mahasiswa sarjana: Holling & Preckel,
2005). Dengan demikian, di kedua bakat dan kelompok tidak berbakat, anak laki-laki ada yang persepsi diri lebih tinggi pada kemampuan matematika mereka yang dilakukan anak perempuan (siswa pada tahapan pendidikan menengah: Fox, Engle, & Paek, 2001; Terwilliger & Titus, 1995; Ziegler, Heller, & Broome, 1996; Zorman &
David, 2000).
Minat matematika. Dalam penilaian PISA 2003 dari sembilan tingkat, semua siswa laki-laki berpartisipasi dan dilaporkan, bahwa minat matematika laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (walaupun itu berarti efek ukuran agak kecil; d = ,21; Pekrun & Zirngibl, 2004; OECD, 2004). Tren dalam Internasional Matematika dan Studi Ilmu juga ditemukan, minat matematika dan sains lebih tinggi untuk anak laki-laki (siswa pada nilai dari kedua pendidikan: Baumert dkk., 2000; lihat juga Lupart dkk.,
2004).
Terdapat lebih sedikit stereotip minat ditemukan di kalangan orang berbakat dibandingkan dengan kemampuan rata-rata - siswa nonacademic (siswa kelas 10: Lubinski & Humphreys, 1990). Untuk domain akademik, bagaimanapum perbedaan jenis kelamin terdapat kemimiripan dengan yang diamati dalam kelompok tang tidak dipilih; bakat lak-laki muncul lebih dalam fisika, sedangkan bakat perempuan menunjukkan minat yang lebih tinggi dalam masalah-masalah sosial, sastra, dan seni (Lubinski & Humphreys, 1990). Dengan melihat pada Model Holland (Belanda, 1997), minat utama dalam bakat matematis remaja lelaki berbaring di investigasi dan sektor realistis. Sebaliknya, bakat matematis remaja perempuan secara sosial dan berorientasi memiliki minat yang lebih merata bagi sosial, dan artistik (Lubinski dkk., 2000). Bakat matematika perempuan yang tertarik ke nilai-nilai sosial (dimensi manusia), yang berkolerasi negatif dengan kepentingan di anorganik ilmu pengetahuan, sedangkan bakat lak-laki dalam matematika secara teori berorientasi pada kajian nilai-nilai (hal-hal dimensi) (Achter, Lubinski, & Benbow, 1996).
Motivasi dalam matematika. Sepanjang seluruh jangkauan matematika,menunjukkan tingkat perempuan lebih rendah dari motivasi sehubungan dengan matematika daripada anak yang dilakukan anak laki-laki (siswa 6th, 9., Dan nilai-nilai 11: Skaalvik & Skaalvik, 2004; Zorman & David, 2000). Baru-baru ini penelitian akademik motivasi yang berfokus pada siswa, pengarahan tujuan akademik, membedakan penguasaan antara tujuan (berhubungan dengan pengembangan kompetensi melalui penguasaan tugas) dan kinerja tujuan (berkenaan mencapai lebih dari orang lain atau tidak kurang dari orang lain) (Elliot & Harackiewicz, 1996). Penelitian telah didokumentasikan bahwa laki-laki pada siswa sekolah menengah cenderung memiliki performa yang lebih tinggi tujuan orientasi daripada yang dilakukan perempuan (Pajares, Britner, & Valiante, 2000). Dalam matematika, ia menemukan bahwa laki-laki memiliki performa yang lebih tinggi daripada tujuan dilakukan perempuan (15-year-old siswa: Pekrun & Zirngibl, 2004; siswa dalam 6th, 9th, and 11th grades: Skaalvik & Skaalvik, 2004). Dalam sebuah studi meta-analitis, Finsterwald dan Ziegler (2002) ditemukan tujuan orientasi kinerja lebih tinggi dalam bakat intelektual anak laki-laki dibandingkan bakat intelektual anak perempuan (d=23), sedangkan tidak ada perbedaan jender yang ditemukan untuk tujuan orientasi.
Untuk meringkas, berarti perbedaan gender dalam kemampuan matematika adalah ukuran yang diabaikan populasi siswa yang tidak dipilih. Bagaimanapun, bagi siswa dengan tingkat kemampuan matematika sangat tinggi, terdapat perwakilan lebih pada laki-laki. Pada umumnya serta bakat populasi, jenis kelamin yang berhubungan dengan perbedaan dalam matematika kinerja yang spesifik : anak laki-laki menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematika yang lebih baik daripada yang dilakukan anak perempuan, sedangkan anak perempuan menunjukkan sedikit keuntungan dalam hitungan di luar kepala. Sepertinya perempuan untuk mendapatkan nilai yang lebih baik di sekolah, tetapi laki-laki lebih baik dr pada tugas-tugas yang memerlukan keaksaraan matematika. Selain itu, pada umumnya sebagai juga bakat penduduk, laki-laki menunjukkan matematika lebih tinggi yang berhubungan dengan kompetensi kepercayaan, yang lebih kuat minat dalam matematika, dan kinerja yang lebih kuat tujuan orientasi dalam matematika daripada yang perempuan.

Penelitian Pertanyaan dan Hipotesis
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menyelidiki perbedaan jender dari bakat siswa sehubungan dengan prestasi, konsep diri, minat, dan motivasi (yakni, penguasaan dan orientasi tujuan kinerja) dalam matematika. Selain itu, kami bertujuan untuk mencari batas-batas perbedaan dalam variabel-variabel yang spesifik untuk siswa berbakat. Karena itu, perbedaan gender dalam bakat siswa dibandingkan denagn perbedaan jender dalam rata-rata kemampuan siswa.
Ilmu dirancang untuk mencegah dua kekurangan penelitian sebelumnya. Satu masalah dari pelajaran sebelumnya pada bakat, termasuk pelajaran pada perbedaan jender, bahwa telah menggambarkan dari program spesial untuk bakat dengan partisipasi tentang kemampuan mereka dan menerima pelatihan pendidikan khusus seperti mempercepat instruksi, pelajaran matematika lebih maju atau memperkaya pilihan matematika (seperto sekolah pada musim panas).
Oleh karena itu, sulit untuk menemukan secara umum untukl kelompok lain pada bakat individual. Kedua, sebagian besar pelajaran kurang cocok dibawah kontrol kelompok. Untuk menghindari masalah itu, siswa diambil dari kelas reguler. Selain itu, contoh dari siswa berbakat dan contoh dari rata-rata kemampuan siswa telah dimasukkan. Contoh perwakilan yang tidak dipilih dikelas telah digunakan untuk mengambil dua kelompok.
Hipotesis kami pada perbedaan jender dalam prestasi dari penelitian kesusastraan, dideskripsikan dibawah. Pernyataan denagn singkat dan jelas, hipotesis kami adalah sebagai berikut:

Hipotesis 1a,tidak ada perbedaan jender dalam tingkat matematika pada bakat atau rata-rata kemampuan siswa.
Hipotesis 1b, laki-laki menunjukkan kompetensi matematika yang lebih tinggi dalam kemampuan membaca dan menulis matematika daripada yang dilakukan perempuan, termasuk keduanya bakat dan rata-rata kemampuan siswa.
Hipotesis2,tidak ada perbedaan jender dalam akademik konsep diri, minat, dan motivasi dalam matematika pada bakat dan kemampuan rata-rata siswa. Laki-laki mempunyai akademik konsep diri yang lebih tinggi dan minat yang lebih pada matematika. Laki-laki dan perempuan menunjukkan tingkat yang sama pada kemampan tujuan orientasi matemaika, tapi laki-laki menunjukkan kinerja tujuan orientasi yang lebih kuat daripada yang dilakukan perempuan.

Metode
Pada pelajaran ini, tidak adanya bakat merupakan konsep sebuah kemampuan yang dapat menunjukkan dirinya dalam prestasi yang luar biasa, tapi tidak harus melakukan semua orang (Sternberg & Davidson, 2005). Umumnya, penjelasan dari tidak berbakat yang digunakan dalam ilmu empiris tidak hanya konsep, tetapi dapat juga menjadi pengaruh dari konteks pelajaran. Dalam konteks pendidikan, terdapat siswa berbakat untuk program khusus, definisi dari tidak berbakat dari sebuah perspektif kemampuan alamiah yang memperhitungkan tidak hanya kemampuan kognitif tetapi juga domain pengetahuan spesifik dan prestasi akademis berguna (Lohman, 2005). bagaimanapun dalam kajian ini tidak bertujuan untuk mempelajari
seleksi siswa untuk program pendidikan tetapi memfokuskan pada penelitian dasar pertanyaan tentang matematika yang berhubungan dengan perbedaan gender.
Sesuai dengan Preckel dan Thiemann (2003), yang menyimpulkan bahwa perbedaan antara rata-rata dan kemampuan intelektual tinggi siswa diidentifikasi oleh penggunaan barang dari bahan yang tinggi menunjukkan pemuatan pada faktor g
atau faktor cairan intelijen (seperti hal penalaran dari tes), kami memilih ukuran penalaran nonverbal yang merupakan tanda didirikan intelijen (Carroll, 1993) dan memainkan peran penting untuk belajar matematika dan ilmu dibandingkan di
pengaturan yang berbeda di sekolah. Kami tidak menggunakan langkah-langkah yang
lisan atau kuantitatif karena tindakan mencerminkan lebih terwujud intelijen (yakni, lisan numerik dan pengetahuan) dari tindakan figural dan lebih dekat dengan menjajarkan jenis sekolah (Jäger dkk., 2006).

Peserta
Sampel terdiri dari 181peserta berbakat dan 181 peserta tidak berbakat. Kedua kelompok itu diambil dari sebuah sampel acak dari 2.059 siswa kelas enam – yang sehubungan dengan SES, jenis sekolah, pedesaan versus penduduk perkotaan, dan ini gender.1 sampel siswa (50,02% perempuan) berasal dari 81 kelas 42 sekolah dari Jerman. Dalam sistem sekolah ini, setelah kelas empat, siswa ditempatkan menjadi salah satu dari tiga trek (rendah, menengah, dan atas) sesuai dengan tingkat pencapaian. Dari catatan, "trek atas " tidak merujuk ke trek untuk siswa berbakat, karena hingga 50% dari populasi umum siswa mengikuti trek ini.
Rata-rata umur sampel adalah 12,77 tahun (SD = 0,52; rentang ke 11/17 = 15,42). Bakat yang telah diambil dari sampel acak bertingkat sesuai pemotongan skor pada tes nonverbal di atas 95%. Sampel dari rata-rata-kemampuan siswa yang direkrut sebagai berikut: Untuk setiap siswa berbakat, siswa yang tidak berbakat (IQ nonverbal dalam kisaran 1 SD dari IQ 100) yang telah disusun jender yang sama sebagai siswa berbakat, datang dari sekolah yang sama, dan keluarga yang memiliki SES setara.
Distribusi semua peserta (berbakat dan paralel) trek di sekolah adalah sebagai berikut: 56,4% dihadiri atas trek, 33,1% di tengah trek, dan 10,5% pada trek rendah. Untuk siswa berbakat, tidak ada perbedaan jenis kelamin untuk menghadiri sekolah (Kolmogorov - Smirnov Z = ,92, p = .37). Dalam Tabel 1, distribusi nonverbal dari pemikiran dan nilai SES dijelaskan untuk dua kelompok. SES kategori yang sesuai Erikson ke-Goldthorpe-Portocarero klasifikasi kegiatan

Tabel 1
Gambaran statistik untuk penalaran nonverbal dan status sosial ekonomi untuk bakat dan rata-rata kemampuan siswa sebagai hasil dari tes statistik (tes Wilcoxon) untuk kesamaan kelompok (N=181 setiap kelompok; 49.2% perempuan)

Bakat Kemampuan rata-rata
Penalaran nonverbal M (SD) 127.10 (0.77) 103.56 (10.36) t 30.40, p .01
SES %
1 9.5 7.5 Z –.39, p .70
2 19.0 20.8
3 23.2 27.7
4 8.9 4.0
5 21.4 23.7
6 17.9 16.2


Catatan: penalaran nonverbal dari KFT skala 4-12 + R; IQ dengan skala F = 100 dan SD = 15. SES 1 = tinggi-grade profesional, administrator, pejabat, manajer industri dalam segi besar; pengusaha besar. 2 = rendah SES-grade profesional, administrator, pejabat; tinggi nilai-teknisi; manajer dalam segi usaha kecil dan industri; pengawas dari nonmanual karyawan. SES 3 = karyawan administrasi nonmanual dan perdagangan, penjualan personil, dan lain-peringkat-file layanan pekerja. SES 4 = pengusaha kecil; artisans (dll) tanpa karyawan; petani, orang yang memiliki perkebunan kecil; wiraswasta nelayan. SES 5 = kelas rendah teknisi, supervisor dari pekerja manual, manual pekerja terampil. SES 6 = semiskilled dan tdk mahir pekerja manual (bukan di sektor pertanian), pekerja pertanian. (Erikson, Goldthorpe, & Portocarero, 1979), yang memperhitungkan judul pekerjaan, versus penuh paruh waktu pekerjaan, dan fungsi dan kewenangan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Sebagai contoh yang ditetapkan oleh prosedur, contoh nyata bakat dan paralel berbeda dalam penalaran kemampuan nonverbal tetapi tidak berbeda dengan SES. Dibandingkan dengan total, contoh yang tidak dipilih, contoh bakat yang berasal dari keluarga dengan tingkat SES (Z = -2,22, p = .03). Tidak ada perbedaan jender untuk bakat di SES (Kolmogorov-Smirnov Z = 1,30, p = .07).

Pengukuran
Kemampuan penalaran nonverbal. Kemampuan penalaran nonverbal dinilai dengan skala dari masing-masing KFT 4-12 + R (Heller & Perleth, 2000; M = 100; SD = 15). KFT yang 4-12 + R merupakan adaptasi dari Uji kemampuan kognitif Jerman dikembangkan oleh Thorndike dan Hagen (1971), revisi terakhir di 1996,2 Dalam Jerman, KFT 4-12 + R adalah salah satu yang paling sering digunakan tes intelijen dan juga banyak digunakan dalam penelitian tidak berbakat dan pendidikan. Untuk identifikasi potensi tinggi dalam matematika dan ilmu pengetahuan, biasanya skala penalaran non verbal yang digunakan (misalnya, Ziegler dkk., 1996). Keduanya
dalam sampel standarisasi dan dalam sampel belajar ini, tidak ada perbedaan jender pada skala KFT yang 4-12 + R, menyatakan bahwa kemaampuan nonverbal
dinilai sebagai skala yang tidak mengecewakan dengan kemampuan ruang yang telah ditemukan akan terhubung dengan jender (dengan skor yang lebih tinggi untuk laki-laki). Skala berisi beberapa 25 pilihan analogi yang meminta peserta untuk membuat kesimpulan, deduksi, dan ekstrapolasi yang berhubungan ke angka stimuli (penalaran induktif; Carroll, 1993). Ujian yang disajikan dalam format kertas dan pensil. Batas waktu yang telah dijelaskan mengikuti ujian dalam Buku panduan. Ujian berlangsung di bawah kuasa kecepatan kondisi tersebut, yang berarti batas waktu yang telah diterapkan banyak sekali (97% dari para peserta mengerjakan tes terakhir). Hubungan dengan prestasi matematika adalah r = ,56-ditugaskan untuk guru kelas dan r = ,58 untuk skor pada prestasi tes matematika dijelaskan di bawah ini (N = 2059). Contoh alfa adalah ,92.
Prestasi matematika. Untuk menilai kinerja siswa dalam matematika, a 63-item tes berdasarkan konsep matematika keaksaraan (OECD, 2003) telah dikembangkan sebagai bagian dari studi Palma (vom Hofe, Pekrun, Kleine, & Goetz, 2002). Sejalan dengan konsep keaksaraan matematika, tes pengukuran kemampuan siswa untuk mengenali dan menafsirkan masalah matematika yang ditemuai dalam dunia mereka, menterjemahkan masalah ini ke dalam konteks yang matematis, menggunakan ilmu matematika dan prosedur untuk memecahkan masalah, menginterpretasikan hasil dalam masalah yang asli, mencerminkan pada metode yang diterapkan hasil dan berkomunikasi.
Analisis didasarkan pada total nilai tes yang dari berasal dari jumlah, perubahan dan hubungan, bentuk dan ruang, dan komputasi. Ujian disajikan dalam kertas dan format pensil- dan sesuai dengan skala Rasch model (Kemungkinan Ratio Test: λ = 2,14 × 10-21, ns; cf. Anderson, 1973; Embretson & Reise, 2000). Itu berarti total skor ditetapkan ke 100 dan standar deviasi ke 10. Ujian berlangsung di bawah kuasa kecepatan kondisi. Guru sekolah yang ditugaskan di kelas matematika
digunakan sebagai indikator pencapaian kedua.
Akademik konsep diri dalam matematika. Enam item dari versi dari Sears Jerman Konsep Diri Inventarisasi (Ewert, 1979) yang disesuaikan untuk penilaian akademik konsep diri matematika (misalnya, "Hal itu mudah bagi saya untuk memecahkan masalah matematika "). Peserta merespon pada skala Likert dari 1 (sangat tidak setuju) untuk 5 (sangat setuju). Jumlah tanggapan dan rata-rata dengan jumlah item (M = 3,34; SD = .88). Keandalan sampel adalah alpha = 90. Di awal studi (N = 505), kami menemukan korelasi r = 91 ini antara skala dan versi singkat Jerman pada matematika yang berhubungan dengan skala akademik konsep diri Penjelasan Sendiri yang dikembangkan oleh Questionnaire Marsh (1988; sampel item: "Saya mendapat tanda baik dalam matematika"). Ini berkorelasi dengan Penjelasan Sendiri skala kuesioner konsep diri yang menawarkan keabsahan bukti untuk akademik skala konsep diri.
Minat matematika. Minat matematika dinilai dengan enam-item dalam Judul ( "Saya tertarik pada matematika," "Saya suka yang berhubungan dengan buku-buku atau sesuatu yang sulit yang terkait dengan matematika, " "Masa Depan matematika yang berhubungan dengan pekerjaan adalah minat saya "), dan kelas instruksi (" Saya sering berpikir bahwa apa yang kita bicarakan di kelas matematika benar-benar menarik, "" Setelah kelas matematika saya sudah ingin tahu tentang kelas matematika berikutnya, "" Saya mau berurusan lebih intensif dengan beberapa topik yang dibahas dalam kelas matematika ") (vom Hofe dkk., 2002). Responden jawaban pada skala Likert dari 1 (sangat tidak setuju) untuk 5 (sangat tidak setuju). Tanggapan ke item jumlah dan rata-rata dengan total jumlah item (M = 2,62; SD = .99), α = ,88. Sampel korelasi dengan skala Prestasi EQ- Matematika (Pekrun, Goetz, & Frenzel, 2005) menilai kesenangan dalam kelas matematika adalah r = ,89, memberikan keabsahan bukti untuk skala.
Motivasi. Untuk menilai tujuan kemahiran dalam matematika, dua item dari Elliot dan McGregor's (2001) tujuan prestasi kuesioner telah dimodifikasi untuk kepentingan kajian ini: "Saya ingin belajar seperti sebanyak mungkin dari kelas matematika "dan" Di kelas matematika saya melakukan usaha yang keras karena saya ingin kompeten dalam hal ini. "Responden merespon pada 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat tidak setuju) skala. Tanggapan terhadap jumlah dan rata-rata dengan total jumlah (F = 3,27; SD = .98). Sampel keandalan adalah α = ,65.
Delapan item menilai kinerja tujuan dalam matematika juga dibangun oleh modifikasi item dari Elliot dan McGregor's (2001) Prestasi Tujuan Kuesioner (sampel item: "Penting bagi saya berhasil dalam kelas matematika dibandingkan dengan orang lain" "Saya bekerja keras dalam matematika karena saya ingin mendapatkan nilai yang baik "). Responden jawaban yang sama pada skala Likert dijelaskan di atas. Tanggapan terhadap jumlah dan rata-rata dengan total jumlah (F = 3,22; SD = .84). Keandalan sampel adalah α =. 85.
Prosedur
Peserta direkrut dan data dikumpulkan dari proses data oleh Pusat Internasional Asosiasi untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan. Peserta diuji di kelas dan ikut ambil pada bagian sukarela. Percobaan yang telah hadir sepanjang sesi uji coba yang berlangsung kira-kira 3 jam, termasuk istirahat singkat. Petunjuk yang diberikan dalam cetak maupun secara lisan oleh penguji. Siswa menyelesaikan tes intelijen, tes prestasi matematika, dan lapor diri kuesioner termasuk skala dijelaskan di atas.

Analisis data
Pengertian dan standar deviasi untuk prestasi kemampuan rata-rata anak perempuan dan anak laki-laki (nilai ujian dan nilai), konsep diri, minat, dan motivasi (kemahiran dan kinerja tujuan orientasi) dalam matematika dihitung terlebih dahulu. Mutu sekolah dengan standar z dalam subsamples peserta yang hadir dalam tiga trek dari sistem sekolah Jerman. Selain itu, karena Jerman mulai dari kelas 1 (prestasi tinggi) ke 6 (prestasi rendah), nilai yang dikembalikan seperti nilai-nilai yang rendah menunjukkan prestasi yang rendah dan nilai tinggi-nilai prestasi.
Kedua, kelompok dan perbedaan jender untuk tingkat, nilai ujian, konsep diri, minat, keahlian tujuan orientasi, dan orientasi tujuan kinerja dalam matematika telah dianalisa terpisah dari analisis berbeda dengan langkah-langkah yang diulang. Analisis langkah-langkah perbedaan yang diulang digunakan karena struktur penetapan data ini (tergantung pada data rata-rata-kemampuan sampel karena prosedur menggambar dari contoh ini).







Tabel 2
Pengertian, standar deviasi dan Ukuran untuk Perbandingan Prestasi (Tingkat
dan Nilai Ujian), Konsep Diri, Minat, Tujuan penguasaan Orientasi, dan Kinerja Orientasi tujuan di Matematika Antara Bakat dan Kemampuan Rata-rata anak perempuan dan anak laki-laki
bakat Kemampuan rata-rata
keseluruhan perempuan Laki-laki keseluruhan Perempuan Laki-laki
Ukuran hubungan matematika M SD M SD M SD M SD M SD M SD
Tingkat 0.24 0.95 0.15 0.97 0.33 0.92 -0.24 0.99 -0.22 0.91 -0.26 1.06
Prestasi tes 108.32 8.82 105.63 7.48 110.92 9.27 102.67 8.31 101.39 7.21 103.91 9.12
Akademik konsep diri 3.54 0.92 3.23 0.9 3.83 0.84 3.15 0.82 3.03 0.84 3.26 0.76
minat 2.76 1.07 2.36 0.99 3.13 1.02 2.5 0.88 2.36 0.87 2.6 0.88
Penguasaan tujuan orientasi 3.35 1.02 3.11 0.96 3.54 1.03 3.21 0.95 3.17 0.88 3.23 1
Kinerja tujuan orientasi 3.28 0.91 3.07 0.89 3.44 0.85 3.18 0.75 3.03 0.76 3.33 0.77

Catatan: Perbedaan dalam n adalah karena data hilang. Tanggapan ke Likert item baris untuk akademik konsep diri, minat, tujuan penguasaan orientasi, dan orientasi tujuan kinerja yang jumlah dan rata-rata dari jumlah per item skala.
aGrades adalah z standar dalam jenis sekolah, nilai-nilai yang lebih tinggi menunjukkan nilai yang lebih baik, n = 89 perempuan, 92 laki-laki dalam setiap kelompok.
bn = 89 perempuan, 91 laki-laki dalam setiap kelompok.
cn = 80 perempuan, 82 laki-laki dalam setiap kelompok.
dn = 84 perempuan, 87 laki-laki dalam setiap kelompok.
id = 85 perempuan, 88 laki-laki dalam setiap kelompok.
fn = 74 perempuan, 79 laki-laki dalam setiap kelompok.

Hasil
Siswa yang berbakat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi dalam matematika daripada yang kemampuan rata-rata siswa. Sejalan dengan Hypotheses 1a dan 1b, tidak ada yang signifikan perbedaan jender dalam nilai matematika, namun terdapat perbedaan yang signifikan dalam nilai tes dalam kesukaan dari anak laki-laki di keduanya, bakat dan kemampuan rata-rata siswa (d = ,66; lihat Tabel 2 dan 3). Sesuai dengan Hipotesa 2, bakat anak perempuan yang kemampuan rata-rata menunjukkan tingkat yang lebih rendah tingkat di konsep diri dan minat dalam matematika daripada yang laki-laki. Selain itu, dengan harapan, ada efek signifikan utama pada tujuan penguasaan orientasi jender (skor rendah untuk penguasaan orientasi pada perempuan), bagaimanapun ini adalah efek kecil (d = -. 25). Demikian juga, dengan skor kinerja untuk tujuan orientasi perempuan yang lebih rendah daripada anak laki-laki.
Untuk seluruh pengukuran dari konsep diri, minat, dan motivasi, perbedaan jender lebih besar untuk bakat dibandingkan dengan kemampuan rata-rata siswa (lihat Tabel 2 dan Gambar 1). Bakat anak laki-laki mendapat nilai lebih tinggi untuk variabel daripada bakat perempuan, tetapi perbedaan jender dalam kelompok kemampuan rata-rata siswa adalah kecil. Interaksi dari kemampuan dan jenis kelamin yang signifikan untuk semua variabel, dengan kinerja tujuan orientasi (Tabel 3).
Di samping itu, efek utama yang signifikan kemampuan kelompok untuk konsep diri dan minat, dengan nilai yang lebih tinggi untuk kelompok berbakat. Bagaimanapun, ini efek utama dari kemampuan kelompok yang terutama dihasilkan oleh data anak laki-laki yang berbakat, seperti yang ditunjukkan oleh interaksi yang signifikan dari kemampuan kelompok dan jenis kelamin di atas (lihat Tabel 3 dan Gambar 1). Anaklaki-laki berbakat mendapatkan nilai yang signifikan lebih tinggi untuk konsep diri dan minat daripada keduanya, kemampuan rata-rata anak laki-laki dan anak perempuan (semua p <.01). Nilai untuk anak perempuan berbakat, di sisi lain, mirip dengan skor untuk kemampuan rata-rata perempuan. Penguasaan orientasi tujuan dan kinerja tujuan orientasi tidak berbeda signifikan antara kemampuan kelompok. Sebagai catatan, bakat anak laki-laki memberi signifikan peringkat yang lebih tinggi untuk tujuan penguasaan orientasi daripada anak perempuan yang berbakat, tetapi tidak ada perbedaan jender dalam kelompok kemampuan rata-rata. Untuk kinerja tujuan orientasi, anak perempuan menunjukkan kinerja tujuan orientasi yang lebih rendah daripada anak laki-laki, mandiri pada tingkat kemampuan.
Diskusi
Kajian ini menyelidiki perbedaan gender dalam baka keenam tingkat, dibandingkan dengan perbedaan jenis kelamin paralel dalam sampel kemampuan rata-rata siswa, sehubungan dengan prestasi, konsep diri, minat, motivasi dalam matematika. Sebaliknya ke studi sebelumnya pada bakat, sampel siswa yang berbakat
yang diambil dari sebuah sampel siswa yang tidak dipilih. Wajar untuk mengasumsikan bahwa sebagian besar siswa berbakat dari program tersebut wa tidak diidentifikasi sebagai berbakat dan


Tabel 3
tingkat
(n=179) Prestasi
Tes (n-181) Akademik konsep diri
(n=162) Minat
(n=171) Tujuan penguasaan Orientasi Tujuan Kinerja Orientasi
F P F P F P F P F P F P
Kemampuan kelompok 24.88 <.001 53.20 <.001 16.98 <.001 7.29 <.01 1.83 .18 1.34 .25
jender 0.42 .52 14.98 <.001 21.31 <.001 21.24 <.001 4.83 <.05 9.35 <.01
Kemampuan kelompok x jender 1.35 .25 3.91 .05 5.59 .05 8.22 <.01 3.95 <.05 0.43 .51
Hasil analisis dari variasi dengan pengukuran tes yang berulang efek dari
tidak berbakat dan Jender pada Prestasi (tingkat dan nilai tes), konsep diri, minat, Tujuan penguasaan Orientasi, dan Tujuan Kinerja Orientasi dalam Matematika

Catatan: Perbedaan dalam n adalah karena data hilang.

tidak menerima pilihan khusus. Asumsi ini didukung oleh menemukan bahwa hampir 44% dari siswa berbakat yang dihadiri mediumor tingkat rendah sekolah trek. Sesuai dengan studi yang lebih dahulu (e.g., Roznowski dkk., 2000), kami menemukan yang berbakat, rata-rata berasal dari keluarga dengan lebih tinggi daripada rata-rata SES.
Rata-rata, siswa yang berbakat performanya jelas melebihi dari mereka yang tidak berbakat sehubungan dengan prestasi dalam matematika (misalnya, tingkat dan nilai pada standar tes matematika). Sesuai dengan harapan, perempuan dan laki-laki berbakat itu sama-sama baik di kelas matematika. Namun, seperti yang diharapkan, laki-laki berbakat mempnyai performa yang lebih baik pada tes keaksaraan matematika daripada mereka yang perempuan. Oleh karena itu, temuan yang didokumentasikan dalam banyak negara Barat untuk contoh dari populasi umum yang dikonfirmasi di sini untuk bakat. Untuk kemampuan rata-rata mahasiswa juga, temuan kajian yang sesuai dengan temuan sebelumnya, menunjukkan perbandingan tingkat rendah untuk nilai keaksaraan matematika kemampuan rata-rata siswa perempuan dibandingkan dengan rata-rata-kemampuan siswa laki-laki.
Skor yang lebih tinggi dari laki-laki pada ujian keaksaraan matematika dapat dijelaskan oleh laki-laki keuntungan dalam memecahkan masalah matematika (Benbow & Lubinski, 1993; Hyde et al., 1990, lihat juga Nuttal, Casey, & Pezaris, 2004, untuk diskusi mengenai pengaruh kemampuan spasial pada kinerja matematika). Namun, perbedaan gender dalam memecahkan masalah matematika menunjukkan banyak variasi lintas-budaya. Oleh karena itu, sesuai dengan pendekatan teoretis seperti model Eccles (1983), adalah wajar untuk menganggap bahwa perbedaan dalam prestasi keaksaraan matematika yang terutama disebabkan oleh sosialisasi peran gender serta harapan orang tua dan guru. Praktek dan harapan ini dapat diasumsikan untuk membentuk perkembangan prestasi yang berhubungan dengan sifat motivasi (seperti akademik konsep diri, minat, dan tujuan orientations) yang mempengaruhi perkembangan siswa pada kompetensi matematis.
Demikian pula, seperti untuk pengembangan perbedaan jender dalam matematika yang berhubungan dengan konsep diri, minat, dan motivasi, dapat diasumsikan bahwa sosialisasi praktek yang berkaitan dengan peran jender lebih penting daripada kemampuan kognitif. Hasilnya sesuai dengan asumsi ini. Anak perempuan dalam kedua kelompok menunjukkan tingkat yang lebih rendah pada konsep diri, minat, dan motivasi (penguasaan dan orientasi tujuan kinerja) dalam matematika
daripada yang dilakukan laki-laki.
Namun, untuk semua afek variabel, perbedaan jenis kelamin lebih besar dalam sampel siswa berbakat daripada di sampel kemampuan rata-rata siswa. Interaksi antara kemampuan kelompok dan jender yang signifikan untuk konsep diri, minat, dan penguasaan tujuan orientasi. Mengesankan, interaksi yang tak terduga pada kemampuan kelompok dan gender menyiratkan bahwa perbedaan jender dalam sikap terhadap matematika bahkan lebih kuat di siswa berbakat daripada dalam masyarakat umum. Menggunakan model Eccles (1983) prestasi yang berhubungan dengan sosialisasi, Temuan ini dapat dijelaskan oleh asumsi bahwa jender terkait sosialisasi dengan praktek domain akademik yang lebih kuat ketika diterapkan ke siswa berbakat dibandingkan dengan kemampuan rata-rata siswa.
Misalnya, mungkin ada siswa yang berbakat lebih sadar dengan bakat mereka, dan harapan sosial bagaimana menggunakan bakat ini, antara lain bahwa peran jender stereotip dan pembangunan-link jender pada akademik motivasi menjadi lebih jelas dalam kelompok siswa. Dengan implikasi, mungkin anak perempuan bakat, lebih dari kemampuan rata-rata anak perempuan, cenderung mengembangkan dan menggunakan kemampuan mereka hanya jika jenis dari kemampuan dan harapan sosial jender yang terkait kongruen satu sama lain, yang dapat berkontribusi untuk menjelaskan mengapa hilangnya dramatis pada bakat perempuan dalam domain matematika, ilmu yang anorganik, dan ilmu teknik.

Keterbatasan
Keterbatasan studi dapat digunakan untuk mendapatkan saran penelitian untuk masa depan. Untuk alasan yang dijelaskan dalam metode seksi, kajian ini digunakan sebagai definisi yang sempit dari tidak berbakat; bahwa, kami memilih kemampuan penalaran nonverbal sebagai satu kriteria untuk menentukan sampel yang berbakat dan kemampuan rata-rata siswa dalam penyelidikan. Ini harus disimpan dalam pikiran ketika membandingkan hasil kami dengan temuan yang berasal dari studi lainnya.
Selain itu, kami belajar secara khusus berfokus pada domain matematika. perbedaan Jender yang dianalisis dalam kajian ini harus diinvestigasi dalam domain lainnya seperti mata pelajaran sains atau lisan.
Selain itu, konsep diri, minat, dan motivasi, ukuran yang digunakan dalam studi yang kami laporkan sendiri. Alih-alih benar-benar mengalami berbagai tingkat dari motivasi, siswa laki-laki dan perempuan mungkin berbeda dalam kemampuan dan keinginan mereka memiliki untuk mengekspresikan Motivational kepercayaan (lihat Grossman & Wood, 1993, untuk perbedaan afek yang berkaitan dengan pengalaman). Dengan implikasi, laki-laki dan perempuan 'laporan sendiri mungkin telah dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sosial stereotyping.
Selain itu, ketika menafsirkan temuan studi ini, harus diambil ke dalam penjelasan bahwa sampel terdiri dari tingkat keenam siswa Jerman. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki apakah temuan kami dapat dapat direplikasi dalam budaya lain dan siswa dari berbagai usia. Namun, seperti yang tercantum, hasil pada perbedaan antara bakat dan kemampuan rata-rata siswa serta temuan tentang perbedaan gender dalam kemampuan rata-rata siswa yang mirip dengan yang ditemukan dalam penelitian sebelumnya yang digunakan contoh dari berbagai budaya dan usia kelompok. Dengan demikian, dapat dianggap wajar bahwa harus dapat membuktikan generalisasi yang hadir temuan perbedaan jender pada siswa berbakat untuk usia kelompok dan jenis siswa.

Kesimpulan
Perbedaan gender dalam matematika yang berhubungan dengan sikap (konsep diri, minat, dan motivasi) dalam kesukaan dari siswa laki-laki secara substansial lebih besar dalam siswa berbakat dibandingkan dengan kemampuan rata-rata siswa. Selain itu, matematika berhubungan dengan konsep diri dan minat yang berbeda dalam siswa laki-laki dari berbagai kemampuan, sedangkan kemampuan grup yang tidak menjelaskan perbedaan sikap dari siswa perempuan. Misalnya, kami tidak menemukan perbedaan dalam matematika yang berhubungan dengan konsepdiri, bakat dan kemampuan rata-rata anak perempuan. Perempuan cenderung memperkirakan kompetensi matematika mereka yang lebih rendah dibandingkan yang laki-laki lakukan dan perempuan berbakat dalam penelitian kami tak ada pengecualian, meskipun dengan fakta bahwa mereka sama-sama yang baik dalam nilai matematika dengan anak laki-laki yang berbakat.
Penelitian baru-baru ini telah diinvestigasi dari hubungan kompetensi kepercayaan dengan pembangunan minat, motivasi, dan pengaruh (e.g., Pekrun, 1993; Todt & Schreiber,1998), dan merupakan pengumpulan bukti bahwa hubungan konsep adalah timbal balik (e.g., Gavin & Byrne, 1996; Hannover, 1998; Pekrun, 1992), oleh karena itu, mempertahankan perkembangan atas sekolah. Sesuai dengan asumsi pada konvergensi variabel yang berbeda, kami menemukan konsisten pola matematika tak baik yang terkait dengan sikap anak perempuan yang konsisten dan pola yang lebih baik dalam sikap anak laki-laki. Sikap yang tak menguntungkan ditemukan pada anak perempuan, termasuk anak perempuan berbakat, cenderung mengurangi probabilitas tinggi untuk meraih prestasi tinggi dan partisipasi angka pada anak perempuan dalam domain matematika dan terkait dengan bidang tersebut (Eccles & Harold, 1992).
Dalam sebuah tinjauan literatur pada faktor yang mempengaruhi realisasi tinggi kemampuan matematika pada anak perempuan, Le Maistre dan Kanevsky (1996) menyimpulkan bahwa kombinasi intervensi diperlukan untuk mendorong pengembangan anak perempuan berbakat dalam matematika. Perbedaan gender dalam matematika yang berhubungan dengan kompetensi kepercayaan dalam kesukaan anak laki-laki yang telah didokumentasikan pada awal tingkat pertama. Oleh karena itu, identifikasi kemampuan sebagai awal intervensi sangat penting untuk mengurangi kemungkinan pengembangan yang tak menguntungkan pada anak perempuan persepsi diri dan sikap negatif terhadap matematika. Intervensi seharusnya tidak hanya memfokuskan pada diri anak perempuan tetapi juga harus pada faktor lingkungan seperti orangtua, guru, rekan kelompok, dan perencanaan administrasi (J. Freeman, 2004). Mungkin intervensi termasuk program untuk meningkatkan minat oleh pendidikan seks, perubahan kurikulum dan instruksi ruang kelas (Baumert & Köller, 1998; J. Freeman, 2004), meningkatkan jumlah kursus matematika untuk siswa perempuan (Eccles, 1987; lihat juga Kerr & Robinson Kurpius, 2004, yang mengembangkan 1 hari program intervensi matematis dan secara ilmiah anak perempuan yang berbakat yang beresiko untuk putus-ilmu di bidang matematika), latihan ulangan (Heller & Ziegler, 1996), pemberian dari model peran dan mentoring (Le Maistre & Kanevsky, 1996), dan bimbingan guru dan orang tua (Le Maistre & Kanevsky, 1996). Temuan studi ini mengkonfirmasi kebutuhan program dan intervensi untuk anak perempuan, khususnya anak perempuan kemampuan yang tinggi.
Dukungan tidak harus mengejar tujuan menegakkan pernyataan bahwa laki-laki dan perempuan sama dalam bidang matematika, sains, dan mesin tetapi memungkinkan bahwa genders akan lebih sama-sama diwakili di dalam domain masa mendatang. Perempuan berbakat membutuhkan kondisi lebih yang baik yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan diri lebih fungsional-persepsi diri dari kemampuan matematika dan lebih minat dalam matematika sehingga dapat membuat keputusan yang baik untuk atau terhadap pendidikan dan pekerjaan dalam karir domain ini.

Dana Pendidikan Nonformal Dipotong Rp 41,8 Miliar

Surabaya, Kompas - Dana pendidikan nonformal dan informal Jawa Timur dipotong sekitar Rp 41,8 miliar. Akibatnya, beberapa program peningkatan kualitas pendidikan seperti penghapusan buta aksara, dana hibah pendidikan luar sekolah, program penyetaraan wajib belajar sembilan tahun, dan pengembangan budaya baca dipastikan berkurang.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Rasiyo mengatakan, pemotongan dana itu dipastikan akan mengurangi sasaran sejumlah program peningkatan pendidikan. "Program penghapusan buta aksara di pedesaan terpaksa akan dikurangi pesertanya," katanya di Surabaya, Senin (28/4).

Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Nomor 181 Tahun 2008, dana penghapusan buta aksara untuk Provinsi Jatim dipotong sebesar Rp 23 miliar dari Rp 63 miliar. Sasaran pun berkurang sekitar 5.000 orang. Padahal, jumlah penduduk buta aksara di Jatim masih menempati posisi tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar 3,7 juta jiwa dengan usia 10 tahun ke atas.

Sementara pemotongan dana penyetaraan wajib belajar sembilan tahun menyebabkan program kejar Paket A atau program penyetaraan pendidikan setingkat SD ditiadakan. Adapun dana untuk program kejar Paket B dipotong sebesar Rp 4,1 miliar. Demikian juga dana kejar Paket C yang dipotong hampir setengahnya. Menurut data Badan Pusat Stastistik tahun 2006, terdapat 3,6 juta penduduk Jatim yang belum pernah mengecap bangku sekolah.

Program pengembangan budaya baca pun terkena dampak penundaan anggaran oleh Departemen Keuangan. Program ini mengalami pemangkasan hingga Rp 2,8 miliar dari dana yang tersedia sebelumnya, yaitu Rp 3,7 miliar. Akibatnya, sebanyak 125 taman baca masyarakat yang ditargetkan dibangun per tahun berkurang menjadi 63 buah saja.

Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kota Surabaya Edi Santosa mengatakan, pemotongan sebesar Rp 6 miliar dari pengembangan kursus dan magang mengakibatkan dana hibah untuk lembaga pelatihan dan kursus dibekukan.

Pembekuan bantuan

Selama sebulan terakhir, bidang PLS telah menolak sebanyak empat pengajuan bantuan kursus yang meliputi kursus menjahit, pengobatan alternatif, kecantikan, dan komputer. "Pembekuan ini terpaksa kami lakukan, padahal program ini sangat berguna untuk penduduk putus sekolah," kata Edi.

Pemilik dan pengelola LPK Menjahit dan Bordir Sarasvati, Endang Srividodo, mengatakan bahwa penghapusan bantuan itu akan menghentikan kursus gratis yang selama ini ia selenggarakan untuk anak-anak putus sekolah dan belum bekerja di Kecamatan Sambikerep.
Diposkan oleh rizki_hakiki di 23:23 0 komentar
Label: Pendidikan Non Formal
Pendidikan Kesetaraan Ajarkan Kecakapan Hidup
JAKARTA, SELASA - Pendidikan kesetaraan untuk peserta yang terdaftar di institusi penyelenggara pendidikan ini diharapkan bukan sekedar mengejar ijazah. Dalam program pendidikan kesetaraan, pembelajaran kecakapan hidup dan kepribadian profesional justru perlu ditekankan untuk menyiapkan lulusannya siap memasuki dunia kerja.

”Pembelajaran di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan seperti pondok pesantren, pusat kegiatan belajar masyarakat, atau sanggar kegiatan belajar dilakukan berdasarkan acuan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi peserta untuk bisa siap bekerja dan berwirausaha. Bahan ajar yang diberikan ke peserta juga sesuai dengan kondisi kehidupan sehingga mereka memiliki kecakapan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan,” kata Ella Yilaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas di Jakarta, Selasa (8/7).

Menurut Ella, pendidikan kesetaraan Paket A atau setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA ini merupakan bagian dari pendidikan nonformal yang memberikan fleksibilitas kepada peserta untuk menjalani pendidikan sesuai minat dan kondisinya. Pendidikan kesetaraan sebenarnya bisa menjadi pilihan alternatif bagi individu dalam menjalani proses belajar sepanjang hayat.

Dalam kaitannya dengan program pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun untuk anak usia sekolah, pendidikan kesetaraan mampu berkontribusi sebanyak 4,6 persen pada angka partisipasi kasar (APK) SMP secara nasional.

Karena itu, pemerintah sendiri sudah mulai mensinergikan pendidikan formal di sekolah dan pendidikan nonformal di luar sekolah, termasuk pendidikan kesetaraan, untuk meluaskan akses wajib belajar sembilan tahun bagi warga yang memiliki kendala ekonomi, sosial, budaya, dan geografis untuk bisa menikmati pendidikan di sekolah-sekolah.


Buhai Simanjuntak, Ketua Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengatakan pembelajaran di lembaga pendidikan kesetaraan ini perlu ditingkatkan tanpa membuatnya menjadi kaku seperti di sekolah formal. ”Pendidikan kecakapan hidup memang perlu ditekankan. Sebab, yang ikut pendidikan kesetaraan ini kan masih banyak dari keluarga tidak mampu atau bekerja. Mereka ini butuh pendidikan yang bisa meningkatkan taraf hidup dan pekerjaan mereka,” kata Buhai.


sumber : www.kompas.com

Berdayakan Pendidikan Nonformal

Berdayakan Pendidikan Nonformal
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, berbagai upaya pemberdayaaan dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Salah satu d iantaranya adalah perluasan kesempatan untuk berpartisipasi dalam layanan pendidikan melalui pelaksanaan pendidikan nonformal.

Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan nonformal dianggap setara dengan pendidikan formal. Kedua jenis pendidikan ini hanya berbeda dalam sisi konteks, waktu, tujuan, dan karakter peserta didiknya.

Namun demikian, perlakuan terhadap pendidikan nonformal cenderung tidak proporsional. Pendidikan nonformal masih sering dipandang sebelah mata dan dianggap hanya pendidikan ?kelas dua? setelah pendidikan formal. Padahal sejatinya peranan pendidikan pendidikan nonformal jauh lebih besar dibandingkan dengan pendidikan formal.

Pendidikan nonformal tidak hanya berperan dalam mendukung program penuntasan wajib belajar 9 tahun, akan tetapi juga dalam pemberantasan buta aksara, perluasan pendidikan anak usia dini, serta peningkatan keterampilan dan kecakapan hidup (life skill) yang mampu meningkatkan kesejahteraan hidup warga belajarnya.

Disamping itu, fleksibilitas dan keluwesan yang menjadi sifat pembelajaran pendidikan nonformal mempunyai kemampuan untuk menembus seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan nonformal dapat dijadikan sebagai pendidikan alternatif yang menawarkan solusi konstruktif dan inovatif untuk kemajuan dunia pendidikan.

Pendidikan nonformal merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Program PNF memiliki nilai keberpihakan kepada kaum yang lemah (pro poor), prinsip pemberdayaan masyarakat (community empowerment), prinsip partisipasi dari masyarakat (public participation) dan prinsip pembelajaran sepanjang hayat (long life education). Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, program pendidikan non formal lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis.

Oleh sebab itu, program pendidikan non formal mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing masyarakat dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha yang pada gilirannya mampu mengatasi solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat, khususnya masalah pengangguran dan kemiskinan.

Tantangan pelaksanaan program pendidikan non formal ke depan semakin besar. Oleh karena itu, para pelaku pendidikan non formal harus mampu merekonstruksi paradigma bahwa pendidikan non formal bukanlah pendidikan kelas teri.

Apalagi saat ini masyarakat cenderung memilih pendidikan yang lebih aplikatif. Pendidikan non formal, khususnya melalui pendidikan kecakapan hidup dan lembaga kursus akan menjadi pilihan utama bagi mereka yang menginginkan untuk mendapatkan pekerjaan dan usaha mandiri maupun usaha kelompok.

Dalam rangka efektifitas program pendidikan nonformal, paradigma baru pembangunan pendidikan nonformal di era global harus ditangkap oleh perencana dan pengambil kebijakan serta seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan nonformal dengan melakukan berbagai upaya.

Di antara upaya itu adalah perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus dan kelompok belajar usaha, peningkatan kualitas tenaga kependidikan non formal, peningkatan jumlah anggaran pendidikan nonformal. Selanjutnya, peningkatan kuantitas dan kualitas sarana belajar dan, peningkatan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standar kurikulum Pendidikan Nonformal. Kurikulum yang dikembangkan haruslah berbasis kebutuhan nyata warga sasaran dan mengembangkan motivasi warga belajar untuk meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar. (KaltimPost,04042009)

http://www.paserkab.go.id/cetak3.php?id=1107

Pendidikan Non-Formal Gratis Untuk Anak Putus Sekolah

JAKARTA, SENIN - Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.

Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.

Bagi mereka sudah lulus dan menguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.

Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.

Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya.

"Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.

Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.

Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.

Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak. Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.

Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.

Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008

Pendidikan Keagamaan; Politik Pendidikan Penebus Dosa

Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.
Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. “Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan,” kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. “Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa,” Maftuh menambahkan.
Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata “penebusan dosa”. Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.
Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.
Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.
Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.
Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.
Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.
Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di Sumba.
“Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri,” kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. “Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah,” katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.
Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk “fungsi pendidikan” ketimbang tahun 2007.
Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk “fungsi pelayanan umum” (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).


Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) –macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.
Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.
Surat itu oleh sebagian kepala daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD untuk pendidikan keagamaan, karena bidang agama tidak mengalami desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD.

sumber : http://apit.wordpress.com/2008/02/01/pendidikan-keagamaan-politik-pendidikan-penebus-dosa/

Revitalisasi Pendidikan Pesantren

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.

Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.

Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung secara serius oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.

Dalam kondisi bangsa saat ini krisis moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Sedikitnya ada tiga unsur utama penopang eksis dan tidaknya pesantren dalam pendidikan, yaitu kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri, kurikulum pondok pesantren, dan sarana peribadatan serta pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan bengkel-bengkel keterampilan. Unsur-unsur tersebut mewujud dalam bentuk kegiatannya yang terangkum dalam Tridharma Pondok Pesantren, yaitu pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan keilmuan dan keahlian yang bermanfaat, serta pengabdian pada agama, masyarakat, dan negara.

Kebijakan Diknas
Merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun, ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal berikut.

Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.

Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.

Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung tinggi moralitas.

Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang. Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun terabaikan.

Revitalisasi pesantren
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.

Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.

Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.

Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.

Ikhtisar
- Pesantren berpengalaman dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat.
- Pemerintah harus lebih memedulikan pesantren demi kemaslahatan umat.



sumber : http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16

Program Pendidikan Khusus berbasis Kompetensi

Sekolah Luar Biasa B Negeri Pembina Tingkat Nasional Denpasar merupakan salah satu sekolah yang memiliki jenjang pendidikan lengkap sesuai dengan kurikulum PLB yang berbasis kompetensi dari tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah.

Program Pendidikan Khusus dilaksanakan dengan satuan pendidikan sebagai berikut :

Tuna Rungu Wicara:

1. Taman Kanak-kanak Luar Biasa B: untuk anak-anak usia 5-7 tahun dengan lama studi 2 tahun dengan penekanan pembelajaran pada pengembangan perilaku dan kepribadian, pengembangan kemampuan dan ketrampilan (bahasa, pengetahuan, kreatifitas dan kesehatan) dan program khusus pembelajaran bina persepsi bunyi dan irama.

2. Sekolah Dasar Luar Biasa B: untuk anak usia 8-15 tahun dengan lama studi 6 tahun dengan penekanan pada pembelajaran bidang matematika, IPA, ketrampilan (vokasional), kesehatan, kesenian, komputer dan program khusus pengajaran bidang muatan lokal, BPBI dll.

3. Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa B: untuk anak usia 16-18 tahun dengan lama studi 3 tahun dengan penekanan pada pembelajaran bidang matematika, IPA, ilmu sosial, Bahasa Inggris, kesehatan, kesenian dan ketrampilan khusus seperti komputer dan manajemen, tata boga (food and beverage service), perawatan kecantikan, rekayasa teknik, ketrampilan bidang perkayuan, otomotif, keramik dll.

4. Sekolah Menengah Atas Luar Biasa B: untuk remaja usia 19-21 tahun dengan lama studi 3 tahun dengan penekanan pada bidang matematika, IPA, ilmu sosial, bahasa Inggris, kesehatan, kesenian dan komputer serta pendidikan ketrampilan khusus yang mencakup komputer dan manajemen, tata boga (food and beverage service), perawatan kecantikan, rekayasa teknik, ketrampilan bidang perkayuan, otomotif, keramik dll.

5. Retardasi Mental

Disampaing program tersebut di atas SLBB PTN Denpasar juga melaksanakan pendidikan khusus untuk Retardasi dari TKLB.C dan SDLB.C.

6. Autisme

Layanan yang diberikan dalam bentuk terapi pendidikan mulai 2 tahun sampai usia sekolah. Selanjutnya diberikan pendidikan formal.

7. Pusat Layanan Pendidikan Bagi Siswa Korban Narkoba

Memberikan layanan pendidikan sesuai dengan jenjang kelas dan usia dan terutama sosialisasi program pencegahan penyalahgunaan narkoba.

8. Bengkel Kerja

Untuk menunjang keberhasilan pendidikan tersebut di atas maka sekolah juga dilengkapi dengan pusat bengkel kerja/sheltered workshop yang telah berjalan dengan baik yang meliputi: 1. Bengkel Otomotif; 2. Kerajinan Tangan dan Tekstil; 3. Pertukangan Kayu; 4. Laboratorium Komputer; 5. Tata Boga; 6. Tata Rias Kecantikan; 7. Tata Busana; 8. Melukis dan 9. Keramik.

Pendidikan Khusus Untuk Anak Berbakat, Perlukah?

Pendidikan Khusus Untuk Anak Berbakat, Perlukah?
Kita pernah bahkan sering mendengar atau melihat anak-anak unggul (gifted) yang memiliki suatu kemampuan yang sangat menonjol pada usia yang sangat muda. Di televisi ditampilkan anak-anak yang memiliki ingatan luar biasa pada usia prasekolah. Belakangan juga sering ditunjukkan anak-anak dengan kemampuan musik luar biasa pada usia yang relatif muda. Sayangnya untuk berikutnya tidak ditelusuri bagaimana perkembangan anak-anak yang dulunya dikenal sebagai anak unggul. Ke mana perginya mereka? Apakah keberbakatannya meluntur ataukah memang sebetulnya mereka tidak tergolong sebagai anak unggul, atau ada faktor lain yang membuat keberbakatannya tidak berkembang secara optimal?

Kita seringkali bingung membedakan antara bakat (aptitude) dengan keberbakatan (giftedness). Orangtua bertanya: Anak saya IQ-nya tinggi sekali dan dapat menghafal banyak hal yang tidak bisa saya ingat. Apakah ia termasuk anak unggul? Anak saya pintar main piano dan sudah ikut kursus bertahun-tahun sejak kecil tapi kok belum jadi maestro juga? Sebetulnya dia itu berbakat atau tidak sih?

Konsep tentang keberbakatan dengan bakat memang seringkali rancu. Sebenarnya keberbakatan tidak sama dengan bakat. Renzulli, seorang ahli di bidang keberbakatan, mengatakan bahwa keberbakatan mensyaratkan lebih dari sekedar kemampuan yang unggul dalam satu atau lebih bidang. Selain kemampuan yang luar biasa dalam bidangnya, diperlukan kreativitas dan pengikatan diri terhadap tugas (motivasi internal) agar seorang anak dapat dikatakan sebagai anak unggul (gifted). Jadi anak yang memiliki bakat (kemampuan bawaan sejak lahir) dalam satu bidang belum tentu termasuk anak unggul (gifted) dalam bidang tersebut karena ia belum tentu kreatif dan belum tentu ulet dan tekun dalam menghadapi berbagai rintangan agar dapat menyelesaikan tugasnya.

Kurikulum Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Lebih Kompleks

Jakarta, Kompas - Begitu standar isi dan standar kompetensi dikembangkan dalam kurikulum baru kelak, serta-merta terbentang berlapis tantangan di depan para pemangku kepentingan pendidikan. Sesuai tuntutan peningkatan mutu pendidikan, implikasi pengembangan kurikulum tersebut harus dibarengi pemenuhan komponen pendukung yang terstandar pula, mencakup infrastruktur persekolahan, pendidik, hingga proses.

Kalau selama ini jenjang dan satuan pendidikan untuk peserta didik yang normal saja belum semuanya terpenuhi secara terstandar, maka tantangan untuk pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus jauh lebih kompleks lagi, ujar Fauzia Aswin Hadis, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Rabu (15/2), di Jakarta.

Fauzia menguraikan, sasaran pendidikan khususselama ini disebut pendidikan luar biasa tak hanya anak-anak cacat, tetapi juga anak-anak jenius atau berpotensi akademik istimewa. Karena itu, perlu perhatian ekstra untuk menanganinya.

Ia menegaskan, langkah awal strategis adalah mengembangkan paradigma baru sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional. Terminologi pendidikan luar biasa harus diganti jadi pendidikan khusus. Standar isi, standar kompetensi, dan standar-standar pendukung lainnya pun perlu disesuaikan dengan kondisi peserta didik.

Ia mencontohkan, terhadap anak yang memiliki keterbatasan fisik—seperti kelemahan indera pendengaran, penglihatan, dan kekurangan anggota tubuh— tetap perlu diberi muatan akademis yang memungkinkan mereka berinklusi dengan peserta didik yang normal.

Secara umum, bekal kompetensi anak-anak berkebutuhan khusus perlu diberi muatan kejuruan, agar kelak bisa memiliki kecakapan hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain.

Direktur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas Ekodjatmiko Sukarso berkomentar, untuk menuju paradigma baru, implikasi kurikulum di pendidikan khusus tak hanya cukup tertuang dalam standar-standar rumusan BSNP.

Itu semua harus dikuatkan pada rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional dalam konteks pemerataan akses-mutu pendidikan serta kemandirian lulusan, ujarnya. (NAR)




Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0602/17/humaniora/2442207.htm

Pengenalan Sejarah Pendidikan Kebutuhan Khusus Menuju Inklusi Sebuah Konteks Norwegia dan Eropa

Sebuah Konteks Norwegia dan Eropa

Berit H. Johnsen2

Pendidikan kebutuhan khusus dapat secara singkat dijelaskan sebagai pendidikan bagi orang yang berkebutuhan khusus dan menyandang kecacatan. Fokus utamanya adalah kemungkinan dan hambatan dalam pengajaran dan belajar yang terdapat dalam faktor-faktor masyarakat, dalam praktek dan teori pendidikan, dan dalam pluralitas kebutuhan khusus individu dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, pendidikan kebutuhan khusus merupakan sebuah disiplin pendidikan dengan orientasi baru yang didasari hasil pemikiran yang kritis.

Pendidikan kebutuhan khusus merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan akar yang sudah tua, yang membentang dari kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern Eropa3. Di mana sumber disiplin ilmu ini? Apakah tema utamanya, masalah dan terminologi sentralnya, titik fokus dan perbedaan yang menandainya? Aspek-aspek apa dari konteks sejarah dan masyarakat yang disentuh oleh disiplin ilmu ini dan bagaimana aspek sejarah dan masyarakat mempengaruhinya? Pertanyaan-pertanyaan ini memberikan kontribusi pada konstruksi rekaman sejarah yang disajikan di sini.

Penyajiannya didasarkan atas sudut pandangan sejarah prinsip pendidikan inklusif, yang dibahas dalam artikel lain dalam buku ini. Oleh karena itu, pencarian akar disiplin ilmu ini diarahkan pada dua arena, pertama pada sejarah sekolah dasar biasa. Arena lainnya adalah berbagai upaya dan institusi pendidikan khusus di luar sekolah umum. Artikel ini merupakan presentasi sejarah pendidikan kebutuhan khusus Norwegia menurut pandangan tren Nordik dan Eropa.

http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Pengenalan_Sejarah_Pendidikan_Kebutuhan.php

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus
Kabar Indonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.

Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.

Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?

Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.

Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.

Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.

Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.

Those who seems unfortunate are those who have more hidden wisdom. Give them chance, they will give you more.

Nurma Cholida, penulis di majalah Genta. Mahasiswa Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu Komunikasi, UK Petra Surabaya.

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Perhatian+Khusus+pada+Pendidikan+Khusus.&dn=20070504114934

Malang Gelar Pendidikan Khusus Penderita Autis

Malang, Kominfo-Newsroom -- Pemerintah Kabupaten Malang, Jawa Timur, melalui kebijakannya sesuai amanat UUD 1945, serta UU Sisdiknas N0 20 Tahun 2003, akan segera melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penderita autis.

Anak penderita autis atau anak-anak dengan berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

Selain pendidikan khusus, pemkab Malang juga akan menambah sekolah inklusif (sekolah biasa) yang dapat mengakomodir semua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, guru, orang tua peserta didik, tenaga administrasi serta lingkungan sekolah/masyarakat.

Saat ini jumlah sekolah inklusif yang ada di Kabupaten Malang baru delapan sekolah yang tersebar di delapan kecamatan, sedangkan SLB yang ada masih sangat terbatas dan letaknya jauh.

''Ke depan akan dikembangkan sekolah untuk ABK pada masing-masing kecamatan di tiap eks pembantu Bupati,'' kata Kadis P dan K, Drs Suwandi MM, MSC, pada acara sosialisasi pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus kerjasama Tim Penggerak PKK dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Malang, belum lama ini.

Ia mengharapkan, melalui kerjasama yang sinergi antara Dinas P dan K dan TP.PKK (Pokja II) dapat meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat tentang arti pentingnya Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus bagi penderita autis guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

sumber:(www.jatim.go.id/hsn/toeb)a

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus KUPANG,SABTU - Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Prog

KUPANG,SABTU - Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.

Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.

Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

KOR

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/11/18122444/masyarakat.harus.dukung.pendidikan.layanan.khusus

Pendidikan Layanan Khusus bagi Anak Pinggiran Jakarta

Wajah suka cita terpancar dari anak-anak, penduduk, dan pejabat daerah setempat ketika tiga iring-iringan mobil dari Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB), Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas, singgah di Desa Sukadamai, Jonggol. Letak desa yang hanya "sepelemparan batu" dari Jakarta itu ternyata nyaris belum terlayani pendidikan secara baik.

Bocah belia di desa itu bersyukur karena bakal diresmikannya Sekolah Pendidikan Layanan Khusus (PLK) Cita Madani untuk anak daerah terpencil setingkat SD hingga SMA, di Kampung Lereng Gunung Siem RT 01/01, Desa Sukadamai, Kecamatan Suka Makmur, Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (30/11), yang puluhan tahun mereka idamkan.

Setibanya di sana, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB), Ditjen Mandikdasmen, Depdiknas, Ekodjatmiko Sukarso, didampingi beberapa pejabat setempat beramah tamah sekaligus meresmikan Sekolah PLK Cita Madani yang dipimpin oleh Ahmad Zayyadi.

Tak disangka-sangka, Kecamatan Suka Makmur merupakan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah ke 40 dari 40 kecamatan di wilayah Jonggol, sementara sekolah SD dan SMP terdekat berjarak 10 kilometer dari desa Sukadamai. Mayoritas anak-anak di sana tidak pernah sekolah. Kalau pun mereka sekolah, baru bersekolah kelas 1 SD umur 10 tahun, dan kelas 3-4 sudah putus sekolah.

"Jika ada masyarakat atau lembaga yang ingin memberdayakan anak-anak untuk berpartisipasi melalui jalur pendidikan, kami patut berterima kasih, terutama kepada PLK Cita Madani. Setidaknya akan membantu meningkatkan IPM desa tersebut," tutur Ekodjatmiko.

Dalam kesempatan itu, pimpinan Cita Madani Ahmad Zayyadi mengatarkan bahwa anak-anak walaupun masih sibuk membantu orang tuanya di sawah atau di ladang serta berdagang, mereka masih bisa sekolah lewat program Direktorat PSLB Ditjen Mandikdasmen Depdiknas.

"Melalui program Depdiknas, yaitu sekolah PLK, maka anak-anak di sini akan memperoleh kesempatan untuk meneruskan pendidikannya. Program Sekolah PLK ini merupakan terobosan yang luar biasa dari Direktorat PSLB," kata Zayyadi yang disambut tepuk tangan dari anak-anak, orangtua murid, serta pejabat daerah se- tempat.

Zayyadi memaparkan, pihaknya telah mempersiapkan lahan beberapa hektare untuk pembangunan sekolah PLK di Desa Sukadamai. Untuk mempercepat program itu, pihak Direktorat PSLB tahun 2007 telah membantu anggaran sebanyak Rp 55 juta untuk operasional dan penyelenggaraan PLK di sana. Kemudian ditambah Rp 15 juta untuk sarana pendukung lainnya.

Ekodjatmiko mengatakan, para penerima block grand dari pemerintah ini bukan hanya sebagai pengelola dan tenaga tutor, tapi memiliki amanat. Pasalnya, Cita Madani mesti berjuang untuk menaikkan derajat anak-anak di wilayah yang masih terbelakang. Tak lama lagi sekolah PLK seperti itu akan menjadi contoh sekolah PLK di wilayah lain yang memerlukan pendidikan, terutama pendidikan residual atau yang tidak terjangkau pendidikan formal.

Ekodjatmiko menuturkan, pendidikan memang menjadi hal yang penting bagi anak-anak di wilayah seperti ini, selain akan meningkatkan IPM pada wilayah tersebut, akan pula terjamin masa depan anak-anak lulus hingga pendidikan 12 tahun. "Terjaminnya kesejahteraan anak-anak dan masyarakat kelak hanya lewat pendidikan yang sesuai dengan standar dan kebutuhan di wilayah itu," katanya.

Peresmian disaksikan kepala Desa Sukadamai, perwakilan kecamatan Suka Makmur, perwakilan perguruan tinggi seperti Universitas Muhammadyah Jakarta dan Institut Pertanian Bogor. Desa ini juga masih kekurangan tenaga pengajar. Guna menjawab persoalan itu, pihak PSLB meminta perguruan tinggi untuk menyediakan dan menyiapkan tenaga tutor mahasiswa lewat program kuliah kerja nyata (KKN).

Sumber: Suara Pembaruan, 11 Des 2007

http://www.ypha.or.id/information.php?subaction=showfull&id=1197374904&archive=&start_from=&ucat=2&

Layanan Pendidikan Untuk Kaum Marginal Masih Terabaikan Layanan Pendidikan Untuk Kaum Marginal Masih Terabaikan

(Tempo Interaktif) Direktur Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional Ella Yulaelawati mengatakan layanan pendidikan bagi kaum marginal masih sangat minim. Beasiswa yang selama ini digulirkan pemerintah untuk membantu kaum marginal juga dinilai tidak efektif.

"Tidak cukup hanya dengan pemberian beasiswa. Pendidikan untuk kaum marginal harus dilakukan dengan empati," katanya dalam seminar dan sosialisasi pendidikan kesetaraan di Aula Masjid Baitussalam, Jakarta, Minggu (29/04).

Menurutnya, layanan pendidikan yang bersifat empati, salah satunya adalah dengan menggalakkan program pendidikan kesetaraan bagi kaum marginal. Selain lebih efektif, pendidikan kesetaraan juga dianggap lebih fleksibel dan tepat diterapkan pada kaum marginal. Sebab, selain bersifat nonformal, pendidikan kesetaraan juga mengajarkan keterampilan dasar yang dapat melatih peserta didiknya untuk lebih siap dalam menghadapi dunia kerja. "Dalam pendidikan kesetaraan, yang diajarkan bukan hanya keseriusan, tapi juga bermain. Bukan hanya logika, tapi juga empati," katanya.

Pendidikan kesetaran merupakan pendidikan nonformal yang mencakup program Paket A (setara dengan Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiah), Paket B (setara dengan Sekolah Menengah pertama atau Madrasah Tsanawiyah), serta Paket C (setara Sekolah Menengah Umum atau Madrasah Aliyah). Hasil pendidikan nonformal dihargai setara dengan hasil pendidikan formal, setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Sehingga, setiap peserta didik yang lulus ujian kesetaraan berhak melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. "Status kelulusan Paket C mempunyai hak eligibilitas yang setara dnegan pendidikan formal dalam memasuki perguruan tinggi atau lapangan kerja," katanya.

Ia manambahkan, pendidikan kesetaraan bukanlah hal yang baru. Ia mencontohkan, sebanyak 1,1 juta siswa di Amerika Serikat memilih pendidikan di sekolah rumah. Sedangkan di Inggris, sekitar 90 ribu orang memilih belajar di rumah daripada disekolah. "Hal yang sama juga terjadi Kanada dan Selandia Baru," katanya.

Di Indonesia sendiri, peserta didik pendidikan kesetaraan Paket B pada 2007 tercatat 535,072 orang. Angka ini jauh lebih tinggi dari jumlah peserta didik pendidikan kesetaraan pada 2003 yang hanya berjumlah 259,360. Sedangkan peserta didik pendidikan kesetaraan Paket A tahun ini berjumlah 105,468 orang. Jumlah kelulusan Paket B pada 2006 tercatat 310,287 orang dan Peket A sebanyak 27,821 orang. Untuk meningkatkan layanan pendidikan kesetaraan, ia menambahkan, Departemen Pendidikan Nasional telah menganggarkan dana sebesar Rp 260 ribu untuk setiap peserta didik Paket A per tahun dan Rp 238 ribu untuk peserta didik Paket B per tahun. Sedangkan untuk penyelenggara pendidikan kesetaraan, departemennya akan membantu dana sebesar Rp 1,8 juta per tahun untuk Paket A dan 2,4 juta per tahun untuk Paket B.

Selain mensosialisasikan pendidikan kesetaraan, ia juga memberikan bantuan berupa satu unit mobil kepada Yayasan Al Hikmah untuk menjalankan program pendidikan kesetaraan. Acara ini juga dihadiri Anggota Komisi X DPR Aan Rohanah dari Fraksi PKS dan Ahli bidang pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Sukro Muhab.

sumber : http://www.kesetaraan.net/index.php?option=com_content&task=view&id=33&Itemid=1

pendidikan layanan khusu kekurangan guru

Jakarta, Kompas - Pendidikan layanan khusus masih mengalami kendala terutama untuk ketersediaan tenaga pendidik. Pendidikan yang dalam kondisi berbeda dari sekolah reguler umumnya tersebut membuat calon tenaga pendidik enggan menjadi pendidik.

Ketua Pendidikan Layanan Khusus Lentera Bangsa Saefudin Zuhri mengatakan, Jumat (10/4), di pendidikan layanan khusus yang dikelolanya terdapat 180 peserta didik aktif mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).

Adapun jumlah total peserta didik, termasuk yang tidak aktif, sekitar 300 anak, tetapi hanya terdapat enam guru.

”Masih kurang tiga guru lagi, tetapi kami kesulitan mencari tenaga pendidik,” ujar Saefudin Zuhri.

Pendidikan layanan khusus tersebut diikuti para anak nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.

Lantaran harus bekerja membantu orangtua melaut atau menjadi buruh di tempat pelelangan ikan, mereka kesulitan kalau harus mengikuti pendidikan formal di sekolah reguler yang jadwal dan materinya ketat.

Tumbuh dari masyarakat

Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan formal yang inisiatifnya tumbuh dari masyarakat. Para peserta didik dapat belajar di mana dan kapan saja mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Pendidikan layanan khusus biasanya menginduk pada sekolah formal terdekat.

Pendidikan layanan khusus ditujukan bagi anak-anak yang terhambat mengikuti sekolah formal karena berbagai persoalan mulai dari letak geografis yang terpencil, pekerja anak, dan anak bermasalah sosial.

Saefudin Zuhri mengatakan, lembaga yang dikelolanya masih kekurangan biaya untuk membayar para guru itu dengan honor layak. Padahal, tugas yang dijalankan terbilang berat karena membuat anak yang bekerja untuk tetap tertarik belajar tidaklah mudah.

Sejauh ini, para guru yang bertugas di pendidikan layanan khusus dibayar Rp 600.000 per bulan. Para guru tersebut datang dari berbagai wilayah di Jakarta dan bukan dari warga sekitar. Bantuan dari pemerintah sejauh ini berupa blockgrant.

Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan, pengembangan pendidikan layanan khusus memang terkendala ketersediaan guru atau tenaga pendidik.

”Pendidikan layanan khusus berlokasi di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau mahal biaya transportasinya. Anak-anak yang dilayani juga dengan karakter khusus sehingga tidak mudah,” ujarnya.

Sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan berupa blockgrant yang diberikan berdasarkan proposal yang diajukan oleh lembaga pengelola pendidikan layanan khusus dan pengelola mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhan.

Akan tetapi, memang belum ada alokasi khusus untuk honor para pendidik di pendidikan layanan khusus tersebut. (INE)
Diposkan oleh zulfikar rizki di 08:17
Label: pendidikan layanan khusus
Reaksi:

Pendidikan Bagi Anak Di lokalisasi Prostitusi Pendidikan menjadi alat kendali di Lokalisasi
Pendidikan Bagi Anak Di lokalisasi Prostitusi
Pendidikan menjadi alat kendali di Lokalisasi

Salah satu program teranyar Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) adalah membangun Pendidikan Layanan Khusus (PLK) bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun sekitar lokalisasi prostitusi Kelurahan Putat Jaya, Surabaya.

Di kawasan ini orang biasa mengenal Gang Doli dan Jalan Jarak. Pembangunan PLK di sana selain meningkatkan mutu pendidikan bagi anak didik di sekitar lokalisasi, yang terpenting melalui pendidikan ini diharapkan dapat memajukan pola pikirnya penduduk setempat bagi kelangsungan pendidikan anak-anaknya dilokasi tersebut.
”Jadi itu yang diharapkan dengan pendidikan di sana dapat menjadi alat kendali bahwa bisnis lokalisasi tidak akan berkembang ke generasi berikutnya,” tambahnya.

Bisnis lokalisasi yang notabena adalah bisnis tidak halal ini sulit diberantas namun hanya dapat dikendalikan agar gaungnya tidak sampai meluas. Informasi yang dihimpun SPIRIT karena warga setempat merasa terbantu perekonomiannya dengan adanya lokalisasi tersebut. Misalnya penduduk setempat adanya yang menjadi tukang cuci, tukang parkir, keamanan, bergadang kelontong dan sebagainya. Karena memang pekerja seks komersial ini bukan dari penduduk setempat melainkan 100 persen adalah dari pendatang di sekitar Jawa Timur.

Anak-anak usia sekolah disekitar lokalisasi --khususnya di RW III, VI, dan XI-- banyak yang putus sekolah. Hal tersebut disebabkan kurangnya dorongan untuk menempuh pendidikan dari orang tua. Mainset warga yang terbentuk adalah dengan adanya lokalisasi, mereka dapat bekerja dengan berdagang dan dapat menghidupi keluarga.

Ketika pendidikan yang rendah saja dapat menghasilkan uang, maka pendidikan tinggi sudah menjadi hal yang sekunder. Mainset seperti inilah yang menghambat pendidikan bagi anak-anak sekitar daerah lokalisasi. Program yang dirancang bagi PLK untuk gang doli ini adalah baca, tulis, dan hitung (Calistung) dan program registrasi kelahiran anak. ”Hal ini untuk kelegalan surat-surat seperti akte lahir,” ucap Dewi Mende selaku ketua PLK.

Peserta program calistung tersebut dipilih dari anak-anak yang putus sekolah dan bermasalah seperti slow lerner atau lambat dalam belajar. Masalah slow lerner tersebut yang menjadi dorongan orang tua untuk memberhentikan sekolah anaknya. ”Jadi bukan karena tidak mampu saja tapi karena orang tua malu anaknya tidak pernah naik kelas,” ungkap Dewi. Selain anak putus sekolah, beberapa diantaranya terdapat anak pendatang yang cacat.

Program registarasi kelahiran anakyang juga diterapkan berguna bagi wanita tuna susila yang melahirkan anak tanpa suami. Sehingga anak-anak yang lahir diserahkan begitu saja atau diadopsi dibwah tangan oleh orang lain. ”Karena diadosi bawah tangan jadi status hukum anak itu tidak jelas,” seru Dewi. Hal ini banyak dialami oleh wanita tuna susila yang baru dan belum tahu cara penggunaan kontrasepsi sehingga mengakibatkan kehamilan.

Anak-anak disekitar lokalisasi tersebut belum teridentifikasi seluruhnya. ”Tapi yang jelas tingkat kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya sangat rendah,” papar Dewi. Penyebabnya dapat diasumsikan menjadi dua bagian yaitu karena mereka dapat hidup dengan kehidupan malam dilingkungan tersebut.

Dapat dikatakan karena latar belakang yang kurang memadai sehingga pemikirannya sederhana, yaitu pengaruh lingkungan yang tidak mementingkan pendidikan menjadi hal yang prioritas. ”Ada kasus, orang tuanya kurang kuat untuk memberi dorongan sang anak dalam menuntut ilmu jadi anaknya malas belajar dan tidak naik kelas kemudian sekolahnya diberentikan oleh orang tuanya,” ungkap Dewi.

Diharapkan para siswa PLK mendapat dua ijasah yang dapat ia gunakan, yaitu ijasah akademis dan kompetensi. Hingga tahap sosialisasi ini, belum ditentukan keterampilan apa yang akan diajarkan karena menurut Dewi keterampilan tersebut akan disesuaikan dengan permintaan siswa PLK. Sedangkan untuk tempat pendidikan juga belum ditentukan. ”Kalau saja ada yang bersedia tempatnya dipakai untuk belajar tapi nantinya dia tidak bisa menjalankan usahanya,” tutur Dewi.

Kebanyakan tempat mucikasi di gang doli ini terselubung dengan bisnis restaurant dan hiburan. ”Izinnya bisnis tempat hiburan tapi didalamnya ada kamar, dengan izin itu mereka bisa jalan dibawah departemen pariwisata,” jelas Dewi. Hal ini pernah Dewi tanyakan kepada pihak kepolisian namun karena surat izin yang dimiliki oleh pebisnis tersebut adalah legal jadi pihak kepolisian tidak dapat berkutik untuk menutup tempat mucikari tersebut.

Diharapkan dengan dibukanya PLK dilingkungan lokalisasi, sehingga anak-anak dapat bersekolah kembali. ”Pernah saya mendapat satu wejangan dari ustadz, pekerjaan paling tua adalah prostitusi jadi sampai seumur dunia tidak akan hilang. Yang dapat dilakukan hanyalah mengendalikan. Kendalinya dari tolak ukur pendidikan.

http://www.ditplb.or.id