Kamis, 16 April 2009

5. Anak Belajar, Negara Membayar

Sembilan bulan lalu, negeri ini dihebohkan bencana gempa tektonik dan

badai tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Tsunami yang ganas

itu meluluhlantakkan fasilitas pendidikan. Banyak guru menjadi sahid, anak

sekolah menjadi yatim piatu, sekolahnya musnah, peralatan belajar hilang entah

ke mana. Singkatnya, pendidikan anak terancam kelangsungannya.

Jika ditilik dari UU Sistem Pendidikan nasional (UU Sisdiknas),

pendidikan yang terjadi atau terbengkalai dalam bencana tsunami, mestinya masuk

dalam skema pendidikan layanan khusus. Apakah kita sudah memiliki pendidikan

layanan khusus? Ternyata belum. Perintah pembuatan Peraturan Pemerintah (PP)

tentang pendidikan layuanan khusus yang memayungi pendidikan darurat belum

dibuat hingga kini.

Pendidikan layanan khusus, bukan cuma ada dalam kasus tsunami.

Sebenarnya, sejak lama di pulau-pulau kecil dan terpencil, misalnya di Pulau

Bertam, Kepulauan Riau (Kepri), dikenal kelompok masyarakat suku laut.

Dalam suatu kesempatan pembicaraan dengan ibu Sri Sudarsono, tokoh

masyarakat level nasional yang tinggal di Batam, mengisahkan bagaimana situasi

unik yang disandang suku laut. "Mereka suku laut belajar di laut." Demikian

antara lain pengalaman kisah Sri Sudarsono mendampingi suku laut yang

dituliskan dalam bukunya, "Menantang Gelombang - Kehidupan Suku Laut di Pulau

Bertam Perairan Batam". Sebagian bayi lahir di laut. Lantas segera pula

dimandikan air laut yang asin. Diyakini, air laut berguna sebagai antibody bagi

bayi.

***

Untuk kepentingan terbaik bagi anak-anak, pendidikan dalam kondisi

bagaimanapun, termasuk keadaan darurat (in emergencies situation), denyutnya

mesti terus diselamatkan. Dari laporan pengalaman berbagai situasi darurat,

konflik sosial, ataupun konflik bersenjata, pengabaian hak pendidikan anak

paling sering terbukti. UNICEF (Badan PBB untuk Dana Anak-anak) menuliskan

bahwa, "In emergencies, children are frequently denied this right". Inilah

rasional yuridis (legal reason) mengapa Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA)

menghormati hak pendidikan sebagai hak fundamental anak (education is a

fundamental right of all children).

Di samping argumentasi legal formal itu, dalam "Technical Notes: Special

Considerations for Programming in Unstable Situations" yang diterbitkan UNICEF,

diuraikan beberapa alasan mengapa penting menyediakan akses pendidikan anak

dalam situasi krisis.

Pertama, pendidikan adalah hal fundamental anak. Kedua, Keadaan darurat

adalah etape yang kritis bagi perkembangan anak. Ketiga, pendidikan dapat

membantu anak dalam menghentikan trauma atau efek krisis . Keempat, pendidikan

dapat membantu perasaan normal anak dan masyarakat.

Kelima, lingkungan pendidikan penting bagi anak untuk ditempatkan pada

lingkungan yang aman. Keenam, pendidikan bagi anak dalam keadaan darurat

berguna sebagai medium membangkitkan daya kejuangan anak, membangun

solidaritas, dan spirit rekonsiliasi. Di samping itu, pendidikan darurat ini

relevan untuk membangun partisipasi masyarakat dalam pendidikan anak.

Kendati dalam situasi darurat, tidak mengeliminasi penyelenggaraan

pendidikan anak yang berkualitas kurang. Anak dalam situasi darurat berhak atas

pendidikan dengan kualitas bagus.

Pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang berkualitas dan non

diskriminasi (vide Pasal 11 ayat 1 UU No 20/2003). Dan, menjamin pendidikan

anak yang berbasis kesetaraan kesempatan.

Untuk menjamin good quality pendidikan dasar anak dalam situasi darurat

itu, masalah kualitas bagus ini meliputi lima aspek kunci. Pertama, pemberi

pelajaran, yakni memiliki kemampuan dan sehat. Kedua, konten pelajaran, yakni

konten yang relevan, aksesible.

Ketiga, proses belajar, yakni proses belajar yang mampu memberdayakan dan

efektif . Keempat, lingkungan belajar yakni lingkungan belajar yang aman, sehat

dan adil. Kelima, hasil pelajaran yakni hasil perolehan yang terukur, relevan,

dan mencerminkan dimensi yang sensitif gender.

Dengan demikian, upaya pemenuhan hak atas pendidikan dasar anak dalam

skema palayanan khusus, mestilah dikelola berbasis kepada kebijakan atau

regulasi. Bukan hanya berbasis kepada kebijakan insidental, reaktif atau malah

personal. Atau bahkan hanya berbasis kepada pesan telepon saja.

Beberapa strategi praktis dapat diperoleh dari akumulasi

pengalaman-pengalaman masyarakat. Pertama, memobilisasi komunitas/ masyarakat

untuk mengupayakan pelayanan pendidikan dasar. Memobilisasi dan mendorong aksi

dari komunitas/ masyarakat menyelenggarakan pendidikan dasar, menjadi prioritas

segera dalam program pendidikan darurat.

Kedua, menyiapkan berbagai kesempatan pelatihan bagi guru-guru,

para-profesional, dan anggota masyarakat. Pelatihan ini berguna untuk

menyiapkan skil dan mentalitas para guru dan pengelola sekolah dalam menghadapi

situasi darurat, yang diidentifikasi secara spesifik dan jelas di kawasan

sekolahnya. Sehingga langsung bisa diterapkan, diuji-latihkan dan dibiasakan.

Ketiga, menjamin pengupayaan segera peralatan dan material untuk

pendidikan dasar. Belajar dari pengalaman di Somalia ataupun Ruwanda (besama

UNESCO), bisa mengembangkan atau menduplikasi berbagai material, seperti

Scholl-in a- Box.

Keempat, mengupayakan persetujuan mengenai kurikulum yang relevan,

mengggambarkan material yang tersedia dan di mana diperoleh, dan menambah

kemampuan dalam menghadapi krisis. Dalam keadaan darurat, dokumen kurikulum dan

material pendukung pendidikan bisa musnah.



Dalam masa bencana atau konflik, kerap pula kurikulum yang biasa atau

yang tersedia tidak lagi relevan dengan situasi mental anak didik. Karenanya,

perlu pengembangan segera material kurikulum yang relevan bagi kebutuhan lokal.



Kelima, memajukan konsepsi untuk menciptakan adanya kesempatan rekreasi

dan bermain bagi anak. Dalam situasi darurat, masa untuk bermain terbatas.

Padahal, terapi bermain (playing teraphy) bisa membantu anak ke luar dari

trauma psiko-sosial yang dideritanya.

Rekreasi dan bermain adalah bagian dari proses pendidikan, dan diperlukan

untuk efektivitas pembelajaran anak. Bermain adalah terapi yang terbukti

efektif mengatasi trauma anak pasca bencana ataupun konflik.

Keenam, memajukan konsepsi untuk menciptakan rehabilitasi sistem

pendidikan (yang menyerap pendidikan dalam situasi darurat), sekolah dan

ruangan kelas. Ketujuh, melakukan advokasi untuk kegiatan pendidikan dan

mendorong kordinasi dengan kelembagaan lain.

Negara menjadi pendidikan anak, dalam sityasi apapun. Karena sudah

menjadi perintah konstitusi kepada pemerintah untuk menciptakan sistem

pengajaran nasional. Tentunya, dengan mengintegrasikan sub sistem pendidikan

layanan khusus, yang diperintahkan UU Sisdiknas.

Anak-anak korban tsunami, anak korban konflik sosial, anak di pulau

terpencil perbatasan Filipina, anak suku laut di Kepri, anak-anak dipedalaman

gunung Jayawijaya, atau anak suku Kubu, tetap berhak atas pendidikan. Negara

berkewajiban memberikan hak itu. Anak Belajar, negara membayar.
sumber:http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Anak-Belajar-Negar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar